UKSW  

Guru Bahasa Indonesia Kok Guru BK-Ku?

Oleh: Agustina Bidadari Maharani Putri
Mahasiswa Prodi BK-FKIP-UKSW

Tugas guru telah dituangkan dalam Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, di mana guru adalah seorang pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, dan membimbing siswanya. Keberadaan guru di sekolah disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing mata pelajaran di sekolah tersebut.

Namun, kehadiran guru dengan tugas dan fungsinya kadang disalahgunakan, seperti ketika seorang guru mata pelajaran diberi tugas tambahan oleh pihak sekolah untuk merangkap jabatan. Misalnya, seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia juga merangkap sebagai guru Bimbingan dan Konseling (BK). Hal ini perlu menjadi perhatian pihak sekolah, karena apabila seorang guru mata pelajaran diangkat menjadi guru BK, perlu dipertanyakan bagaimana kompetensinya dalam menjalankan peran sebagai guru BK, padahal ia bukan lulusan dari jurusan Bimbingan dan Konseling.

Lantas, bagaimana jadinya jika seorang guru BK di sekolah bukanlah lulusan dari program studi Bimbingan dan Konseling? Bagaimana ia menjalankan perannya sebagai guru BK? Apakah layanan yang diberikan kepada siswa-siswinya sesuai dengan yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru BK?

READ  Program Doktoral Studi Pembangunan UKSW Terus Memperkuat Dimensi Interdisiplin

Pengalaman seperti ini pernah penulis alami saat menempuh pendidikan di sekolah menengah atas. Guru BK yang ada di sekolah tersebut sebenarnya adalah seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, bukan sarjana Bimbingan dan Konseling.

Banyak hal yang dilakukan oleh guru BK tersebut yang, menurut penulis, tidak sesuai dengan tugas dan peran seorang guru BK. Memang tidak bisa dimungkiri bahwa guru tersebut memiliki sifat keras, mungkin karena pengaruh budaya, usia, atau faktor pribadi lainnya, sehingga kadang emosinya sulit dikendalikan.

Hal tersebut sangat memengaruhi kualitas kinerjanya sebagai guru BK. Alih-alih memberikan bimbingan atau layanan konseling kepada siswa yang membutuhkan, guru tersebut justru cenderung menghakimi. Perlakuan kasar pun sering kali diberikan kepada siswa-siswinya, yang tentu tidak mencerminkan esensi dari profesi konselor.

Jika dilihat dari sisi bagaimana ia memberi motivasi kepada siswa dalam hal belajar, pergaulan, sosialisasi, maupun pemilihan jurusan saat masuk perguruan tinggi—khususnya dalam hal bimbingan karier—memang cukup baik. Namun, cara penyampaiannya yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan langkah-langkah ilmiah yang dipelajari dalam pendidikan sarjana Bimbingan dan Konseling menjadi masalah tersendiri.

READ  Menjaga Marwah Ekonomi Para Mama Papua di Sorong

Keberadaannya di sekolah pun sering tidak disukai oleh siswa. Ia bahkan dianggap sebagai guru paling “jahat”, disamakan dengan polisi sekolah, atau disebut sebagai “hantu” yang ditakuti siswa. Padahal, seharusnya guru BK menjadi teman dan tempat curhat siswa. Hal ini menunjukkan bahwa peran guru BK di sekolah tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Situasi ini menggambarkan kurangnya profesionalisme, karena seorang guru seharusnya bekerja sesuai dengan bidang keahliannya sebagaimana yang telah dipelajari di perguruan tinggi. Dalam hal ini, guru BK seharusnya merupakan lulusan dari program studi Bimbingan dan Konseling.

Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah kurangnya tenaga pendidik, khususnya guru BK, di sekolah tersebut. Akibatnya, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia pun diangkat sebagai guru BK. Dampaknya, layanan bimbingan dan konseling yang diberikan kepada siswa menjadi tidak efektif, karena tidak dilakukan oleh tenaga profesional di bidangnya.

READ  Silvino Cabral Lolos Ujian Kualifikasi: Menyoal Kemiskinan Petani Kopi Ermera

Perlu ditekankan bahwa setiap guru telah diberikan tugas masing-masing sesuai dengan bidang yang digelutinya, agar tidak terjadi penyalahgunaan fungsi dan peran guru itu sendiri. Selain itu, calon-calon tenaga pendidik—khususnya guru BK—harus dibekali dengan wawasan yang luas dan keterampilan yang mumpuni dalam memberikan layanan kepada siswa. Dengan begitu, pendidikan akan tampak lebih bermutu dan terarah, karena setiap guru menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan keahliannya.

Jika hal tersebut dapat diterapkan, pandangan siswa terhadap guru BK atau konselor sekolah pun akan menjadi lebih positif, karena layanan yang mereka terima sesuai dengan kompetensi dan profesionalisme yang semestinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *