Salatiga, detak-pasifik.com- Sedikitnya lima belas intelektual dari berbagai latar belakang ilmu dan etnis berkumpul untuk meneguhkan kembali arah dan makna interdisiplin dalam studi pembangunan. Mereka adalah para dosen, mahasiswa, dan penggiat akademik yang bernaung di bawah Program Doktoral (S3) Studi Pembangunan Fakultas Interdisiplin Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), sebuah rumah akademik yang sejak lama menaruh perhatian pada dinamika pembangunan di Indonesia dan Asia Tenggara.
Wartawan detakpasifik.com Pius Rengka dari Salatiga semalam melaporkan diskusi tersebut berlangsung pada Rabu (24/9/2025) di kediaman Ketua Program Studi, Prof. Daniel Kameo, Ph.D., di Jalan Bukit Sawo No. 4 Salatiga. Hadir pula Rektor UKSW, Prof. Dr. Intiyas, para dosen senior seperti Dr. J. Mardimin, Yesaya Sandang, Ph.D., Dr. Wilson Therik, serta para mahasiswa doktoral Studi Pembangunan.
Dalam pengantarnya, Prof. Daniel menegaskan bahwa Program Doktoral Studi Pembangunan UKSW merupakan salah satu, jika bukan satu-satunya, program di Indonesia yang konsisten menekuni problem pembangunan dari sudut pandang interdisiplin. “Kajian interdisiplin bagi UKSW bukan sekadar jargon metodologis, melainkan keniscayaan empiris. Pembangunan selalu berdimensi jamak, dan manusia yang menjadi subjeknya pun multidimensional. Karena itu, studi pembangunan tidak bisa berjalan hanya dengan satu kacamata,” tegasnya.
Mantan Koordinator Staf Khusus Gubernur NTT periode 2018-2023 ini menambahkan, sejak berdirinya Fakultas Interdisiplin, UKSW telah mengantisipasi kebutuhan zaman dengan menggelontorkan tak kurang dari 96 doktor yang masing-masing meneliti persoalan pembangunan dari beragam sudut pandang, mulai dari sosial, politik, ekonomi, hingga ekologi.
Rektor UKSW, Prof. Dr. Intiyas, meneguhkan pernyataan itu dengan menyoroti kiprah universitas yang telah lama membangun kultur akademik terbuka dan demokratis. “Tatkala dunia politik di negeri ini masih terus mendiskusikan bagaimana tradisi demokrasi mesti dipraktikkan, UKSW sudah lama membiasakan tradisi itu dalam kehidupan kampus. Keberagaman mahasiswa dan dosen yang berkumpul di sini menjadi fondasi bagi lahirnya intelektual yang berkiprah di berbagai bidang profesional,” ujarnya.
Pertemuan akademik di Salatiga itu bukan sekadar forum introspeksi dan refleksi, melainkan juga pengingat bahwa pembangunan tidak pernah hadir dalam garis lurus. Pembangunan selalu melibatkan silang pendapat, perjumpaan budaya, dan kolaborasi disiplin. Dan di tengah pusaran arus globalisasi, UKSW melalui Program Doktoral Studi Pembangunan terus meneguhkan dirinya sebagai ruang pertemuan ide yang menolak reduksi atas kompleksitas manusia dan zamannya.
Fenomena yang diperlihatkan UKSW bukanlah kasus tunggal. Di kawasan Asia Tenggara, sejumlah universitas juga menggeser pendekatan pendidikan doktoral ke arah interdisiplin. National University of Singapore (NUS), misalnya, memperkuat kajian pembangunan dengan menghubungkan ilmu sosial, teknologi, dan lingkungan. Universiti Malaya di Malaysia mengembangkan program riset interdisiplin tentang perubahan iklim dan urbanisasi. Sementara Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta mulai memadukan pendekatan antropologi, politik, dan teknologi digital dalam program studi pembangunan.
Namun, yang membedakan UKSW adalah keberaniannya membangun Fakultas Interdisiplin secara institusional sejak awal, bukan sekadar menggabungkan mata kuliah lintas jurusan. Dari sini lahirlah sebuah ekosistem akademik yang memungkinkan para mahasiswa doktoral untuk meneliti isu-isu pembangunan dengan cara yang lentur, kritis, sekaligus membumi.
Diskusi di Salatiga itu pada akhirnya mempertegas posisi UKSW di tengah arus global pendidikan tinggi. Bahwa di era ketika dunia dipenuhi kompleksitas perubahan iklim, migrasi internasional, transformasi digital, dan ketimpangan ekonomi pendekatan interdisiplin bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Dan di tengah pusaran itu, UKSW memilih berdiri sebagai ruang di mana ilmu-ilmu bersilangan, pandangan-pandangan bertemu, dan pembangunan dipahami bukan semata sebagai pertumbuhan, melainkan sebagai usaha memuliakan martabat manusia. (dp)









