Retret Atambua: Antara Sekolah Pertobatan dan Cermin Kebingungan

Catatan Pius Rengka

Atambua, sebuah kota perbatasan. Itu kota kerap dilukiskan sebagai beranda Republik. Tetapi, tiba-tiba belakangan ini Atambua bagai panggung besar politik birokrasi.
Di bawah langit biru nan lengang dan angin kering yang mengalir membuai wajah perbukitan Timor, ratusan pegawai Pemerintah Provinsi NTT berkumpul di kampus Universitas Pertahanan. Dari nun kejauhan, suasana itu mirip upacara sakral. Ritus agamawi yang syarat makna pertobatan.

Bus-bus birokrasi berbaris rapi. Tertib. Wajah-wajah para penumpang, entah benar atau tidak, mungkin penuh tanda tanya, dan menaut temali janji perubahan yang menggelantung di udara yang mengalir lanjut tembus terus ke Timor Leste.

Namun, di balik ritual ini, publik bertanya. Apakah retret dua minggu dengan biaya Rp1,6 miliar ini sungguh sebuah “sekolah pertobatan” atau sekadar pesta simbolik yang cepat dilupakan, seperti itu angin?

Retret pegawai Pemerintah Provinsi NTT di Universitas Pertahanan Atambua, bukan hanya mengguncang ruang publik dengan gelombang reaksi yang berlapis, tetapi juga mengundang refleksi kontemplatif bagi pemikir waras yang berdiri di tepi jalan lalu lintas opini politik.

Seperti sebuah drama politik, dan juga sudah dapat diduga, suara-suara publik terbelah ke dalam blok-blok tafsir yang berbeda, masing-masing membawa asumsi dasar dan horizon pandangan yang tak bisa diabaikan. Hal itu tampil di media sosial.

Bagi blok pertama, saya sebut sebagai kaum inner cyrcle, langkah Gubernur dianggap sebagai strategi brilian. Retret ini dipandang sebagai upaya transformatif untuk memperbaiki pelayanan publik dengan menyentuh aspek terdalam yaitu kesadaran dan mentalitas aparatur.

Mereka menilai gubernur telah mempraktikkan apa yang Burns (1978) sebut sebagai transformational leadership, yakni kepemimpinan yang tidak sekadar mengatur birokrasi, melainkan berusaha mengangkat moralitas dan motivasi kolektif. Retret pun dianggap sebagai “sekolah jiwa” yang mencuci membersihkan hati, memperbarui etos kerja, dan tekad bulat sempurna, sambil menghasilkan pegawai dengan karakter baru yang lebih progresif, profesional luar dalam. Hal itu tamak dalam komentar adinda terkasih anggota DPRD NTT, Boni Jebarus yang disapa Bonjer itu.

READ  Peta Baru Konflik Israel Hamas 2025

Namun blok kedua melihatnya sebagai ironi. Di tengah keterbatasan anggaran pembangunan, retret semewah ini justru dianggap boros dan kontraproduktif. Catatan itu persis dikritik oleh pakar ekonomi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Willy Mustari. Kritik ini bergaung seperti peringatan James C. Scott (1998) dalam Seeing Like a State, negara kerap merancang program yang tampak rapi di atas kertas, tetapi gagal menyentuh realitas penderitaan rakyat kecil. Alih-alih melahirkan efisiensi, kebijakan ini dinilai sebagai pelecehan moral terhadap rakyat miskin yang masih bergulat dengan kemiskinan struktural.

Blok ketiga menyoal aspek kultural dan psikologis. Mereka mengingatkan bahwa karakter manusia tidak dapat diubah dalam tempo singkat. Mengutip pemikir Perancis, Pierre Bourdieu (1990), habitus manusia yakni pola disposisi yang tertanam dalam tubuh dan pikiran merupakan hasil sejarah panjang, bukan produk dari pelatihan kilat. Maka, ekspektasi bahwa dua minggu retret akan melahirkan aparatur profesional adalah sejenis utopia yang menyepelekan kerumitan sosial. Atau, ekspektasi bahwa retret akan melahirkan aparatur dengan etos baru dalam sekejap adalah ilusi yang menafikan logika sosial, entah di mana pun.

Blok keempat lebih sederhana, tetapi menukik. Retret ini hanyalah pantulan kebingungan politik birokrasi. Tanpa analisis biaya manfaat yang transparan, kebijakan ini hanya menambah risiko. Kritik ini sejalan dengan gagasan Giddens (1991) tentang modernitas refleksif bahwa kebijakan publik tanpa refleksi memadai justru melahirkan risiko baru, bukan solusi. Retret dianggap tanpa cost opportunity analysis yang memadai, tanpa perhitungan rasional tentang untung rugi politik, ekonomi, dan sosial. Catatan ini terbersit dalam serial artikel dan percikan pemikiran Jermy Haning, PhD dalam interaksi intelektualnya melalui media online.

Di luar blok-blok itu, refleksi akademis menuntut kita melihat dua hal yaitu momentum dan etika kepemimpinan. Momentum penting karena di tengah kondisi fiskal yang terbatas, pilihan kebijakan harus diarahkan pada prioritas strategis dengan daya ungkit besar bagi rakyat.

Etika kepemimpinan penting karena, sebagaimana ditegaskan Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom, pembangunan bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi, melainkan soal memperluas kebebasan substantif rakyat, terutama kaum miskin yang diterpa dan didera oleh konteks anggaran nasional hari ini. Maka tindakan simbolik pemimpin harus selalu ditimbang dalam horizon moral, apakah (para) pemimpin sungguh berpihak pada rakyat kecil atau sekadar memperkuat citra birokrasi, apalagi citra politik dengan hidden agenda re-election (terpilih kembali)?

READ  Mengapa Rakyat NTT Peduli?Refleksi Demokrasi dari Polemik Tunjangan DPRD

Saya pikir, retret ini, apapun hasilnya, sedang berlangsung. Retret bisa menjadi (potensial) “sekolah pertobatan” yang melahirkan energi baru birokrasi, tetapi juga bisa berakhir sebagai ritus politik yang menyisakan kekecewaan dan meninggalkan serpihan ironi politik.

Bagi saya, kita sebaiknya belajar menunggu. Apakah dua minggu di Atambua akan mengubah wajah birokrasi NTT, atau justru meneguhkan apa yang dikatakan Castells (1996) tentang network society bahwa institusi modern sering terjebak dalam jaringan simbolik yang tampak megah, namun minim perubahan substantif?

Kini retret itu sedang berjalan. Marilah kita ikut berdoa dengan sejenis harapan baru yang barangkali belum pernah dialami. Ia bisa saja berakhir sebagai “sekolah jiwa” yang menyalakan energi baru, atau justru sebagai ritus simbolik yang menambah daftar panjang kekecewaan publik. Castells (1996) mengingatkan, masyarakat modern sering terjebak dalam jaringan simbol yang tampak megah namun miskin perubahan substantif. Pertanyaan mendasar pun menggantung, apakah dua minggu di Atambua benar-benar mampu mengubah wajah birokrasi NTT? Seperti selalu saya kenal di antara mereka, utamanya para kawan dekat saya. Mereka adalah orang baik dan baik-baik saja sejauh untuk kebaikan hari-hari ini.

Seperti pengalaman pribadi retret dalam tradisi Katolik di Flores (6 tahun saya di sekolah di bawah naungan bimbingan SVD yang sangat berjasa itu) atau di bawah bimbingan Romo Mangun di tepian Sungai yang mengalir dari lereng bukit Merapi di Salam, Yogyakarta, retret selalu dimaknai sebagai ruang hening untuk menata batin. Pertanyaannya, apakah ruang hening itu bisa diterjemahkan menjadi energi birokrasi yang lebih tangguh, atau ia akan tetap menjadi ritual mahal yang segera dilupakan, tertiup angin kering Atambua?

READ  Besok, Demokrat NTT Gelar Rakerda

Saya selalu mengenang Romo Mangun Wijaya, ketika penulis Burung Manyar itu sekali waktu bertanya kepada kami yang sedang mengikuti latihan kepemimpinan selama dua minggu. Dalam sesi kotbah atau lebih tepat renungan, Mangun Wijaya bertanya. Apakah memang kalian ini sanggup menjadi pemimpin atau sekadar ikut latihan kepemimpinan? Dalam renungannya di sebuah kapel kecil itu di tengah gemericik anak sungai membentur bebatuan, pejuang kemanusiaan ini sepertinya meminta kami untuk pergilah ke tengah medan dunia dan jadilah orang yang selalu berpihak kepada kaum kecil dan terpinggirkan.

Refleksi

Sejarah selalu mengajarkan bahwa transformasi birokrasi bukanlah buah dari satu momentum seremonial, melainkan hasil perjalanan panjang yang ditempa oleh konsistensi moral, keberanian politik, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Max Weber (1978) sudah lama mengingatkan, birokrasi rasional hanya bisa bekerja jika dipandu etika tanggung jawab (ethic of responsibility), bukan sekadar etika keyakinan yang retoris. Weber pulalah yang memperkenalkan rekruitmen rasional yang menjadi basis dari merit sistem birokrasi.
Maka, retret di Atambua bisa dipandang sebagai metafora. Ia menyingkap paradoks kepemimpinan di daerah-daerah pinggiran, antara harapan akan perubahan dan kenyataan tentang keterbatasan. NTT, seperti banyak wilayah lain di dunia, sedang diuji apakah ia mampu keluar dari jebakan simbolisme politik menuju praksis nyata yang mengubah nasib rakyat.

Pada akhirnya, pertanyaan terbesar tetaplah filosofis, apakah kepemimpinan adalah soal menciptakan panggung ritus, atau soal membangun praksis yang berakar pada penderitaan nyata rakyat? Di titik inilah, kita diingatkan pada kata-kata Hannah Arendt (1958) tentang politik sebagai ruang action, tindakan yang lahir dari kebersamaan manusia dan bukan sekadar representasi simbolik. Retret Atambua adalah cermin. Retret bisa merefleksikan kesungguhan pemimpin, atau justru memperlihatkan kebingungan yang diperbesar oleh seremonialitas.

Dan, sebagaimana setiap cermin, benda itu tidak pernah berbohong. Ia hanya menunggu siapa yang berani menatapnya dengan jujur. Begitulah.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *