Menebak Kursi Sekda Kota Kupang

Kupang, detak-pasifik– Pemerintah Kota Kupang bersiap menggelar seleksi terbuka untuk mengisi posisi strategis Sekretaris Daerah (Sekda), jabatan tertinggi dalam struktur aparatur sipil negara (ASN) di lingkup pemerintahan kota. Saat ini, kursi tersebut masih ditempati Penjabat (PJ) Sekda, Ignas Lega. Namun sebentar lagi, jabatan definitif akan segera diisi, dan pertanyaan paling krusial pun muncul: siapa yang akan duduk di sana?

Kursi Sekda bukan sekadar jabatan administratif. Ia adalah pengendali utama mesin birokrasi, penggerak kebijakan teknis, dan figur penghubung antara kepala daerah dengan perangkatnya. Karena itu, proses pemilihannya tak pernah steril dari tarik-menarik kepentingan: antara idealisme profesional dan realitas politik yang kerap pragmatis.

Pasca dilantiknya Christian Widodo sebagai Wali Kota Kupang menggantikan Jefri Riwu Kore, spekulasi soal siapa yang akan menjadi “tangan kanan” sang wali kota di tubuh birokrasi mencuat di ruang-ruang publik. Beberapa nama pun sering disebut: Jefri Pelt (Asisten I), Thomas Dagang (Kadis Nakertrans), hingga Ignas Lega, PJ Sekda saat ini.

Namun, posisi Ignas Lega tampaknya hampir pasti tidak lagi muncul sebagai calon. Pasalnya, berdasarkan ketentuan yang berlaku, seorang Penjabat tidak diperkenankan mengikuti seleksi terbuka jika masih aktif menjabat hingga masa pendaftaran. Bila Ignas tidak mundur sebelum batas waktu, maka namanya otomatis keluar dari bursa calon.

READ  Mengapa Rakyat NTT Peduli?Refleksi Demokrasi dari Polemik Tunjangan DPRD

Sementara itu, posisi strategis Sekda diyakini menjadi incaran banyak pihak. Tak hanya kepala daerah, tetapi juga partai pendukung, tim sukses, bahkan jaringan ekonomi dan oligarki lokal yang menginginkan seorang Sekda “yang bisa diajak kompromi”.

Namun, siapa yang seharusnya menjadi Sekda bukan ditentukan oleh kekuatan lobi, melainkan oleh rekam jejak, kapasitas intelektual, dan integritas personal.

Pandangan kritis datang dari Pius Rengka, pengamat politik, tinggal di Kota Kupang. Ditanyai Rabu malam (3/9/2025), Pius mengatakan jabatan Sekda terlalu penting untuk diserahkan pada pertimbangan politik jangka pendek.

“Sekda itu mesin utama birokrasi. Ia adalah koordinator kebijakan, penggerak administrasi, penghubung kepala daerah dan perangkat, serta Sekretaris TAPD yang menentukan arah fiskal daerah,” tegas Pius.

Ia menekankan bahwa pengisian jabatan ini tidak boleh keluar dari prinsip meritokrasi, seperti diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, serta PP No. 11 Tahun 2017 jo. PP No. 17 Tahun 2020. Seleksi harus dilakukan secara open bidding, transparan, kompetitif, dan berbasis merit sistem—bukan “transaksi politik yang kampungan”.

READ  Jokowi Minta ASEAN Tangani Masalah Muslim Rohingya di Rakhine State

“Namanya saja open bidding. Artinya, proses ini harus dijauhkan dari faksionalisme politik sempit,” tambahnya.

Lebih dari sekadar memenuhi syarat administratif, Pius menekankan pentingnya dua keutamaan substantif: kapasitas intelektual dan integritas pribadi. Tanpa itu, Sekda hanya akan menjadi beban birokrasi.

“Sekda yang bodoh dan culas hanya akan menjadi penyubur penyakit sosial dalam birokrasi. Dia akan melayani kepentingan kelompok dan merusak tatanan,” kata Pius yang tengah sibuk menyelesaikan disertasinya di fakultas Interdisiplin UKSW Salatiga.

Sekda Sebagai Stabilizer dan Negosiator

Bagi Pius, posisi Sekda Kota Kupang bukan hanya sebagai administrator kantoran. Lebih dari itu, ia harus tampil sebagai “negosiator utama” antara berbagai kepentingan: pusat-daerah, eksekutif-legislatif, serta antara birokrasi dan publik.

READ  Besok, Demokrat NTT Gelar Rakerda

“Kota Kupang itu pusat geopolitik dan geoekonomi Indonesia Selatan. Sekda harus bisa membaca tanda-tanda zaman. Dia harus menjadi bridge builder, stabilizer, dan chief of staff bagi wali kota,” ujarnya.

Sekda juga harus paham bahwa birokrasi hari ini tak lagi bekerja dalam ruang steril. Ia harus sanggup menjalin komunikasi lintas sektor, menjembatani visi kepala daerah ke dalam sistem kerja yang efisien, serta mampu mengelola konflik yang muncul dalam dinamika tata kelola kota.

Jauhkan Polarisasi, Dekatkan Kualitas

Pius pun mengingatkan agar seleksi ini tidak dibajak oleh politik identitas atau orientasi faksional yang sempit.

“Jangan pakai imajinasi kampungan, berpikir sempit berdasarkan suku, agama, atau kelompok politik. Itu cara berpikir manusia eksklusif yang hidup di gua-gua,” kritiknya.

Ia juga menyinggung DPRD agar tak ikut mencampuri urusan teknis seleksi yang merupakan ranah eksekutif.

“Legislatif itu legislatif, eksekutif itu eksekutif. Jangan sampai yang satu mau bergaya seperti yang lain. Kacau nanti. Percayakan saja pada tim seleksi yang punya kapasitas.” tutupnya.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *