Antartika dan Padang Pasir yang Semakin Jauh

Marselus Natar

Oleh: Marselus Natar (rohaniawan Katolik pada Kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus, penulis buku kumpulan cerpen dengan judul Usaha Membunuh Tuhan)

Di setiap musim kampanye, kita selalu disuguhi janji-janji politik yang indah, gagah, bahkan heroik. Beberapa janji lahir dari kalkulasi rasional, sebagian lagi lahir dari imajinasi yang lebih mirip puisi. Dari sekian banyak janji yang pernah beredar, ada satu yang begitu membekas di ingatan publik: Prabowo Subianto berikrar, dengan nada penuh keyakinan, bahwa ia akan mengejar para koruptor sampai ke Antartika dan padang pasir.

Kalimat itu, kala itu terdengar seperti mantra. Orang-orang yang mendengarnya tersenyum lega, seolah akan datang era baru di mana maling berdasi tak lagi bisa tidur nyenyak. Bayangan publik seketika melayang jauh: aparat hukum dengan jaket tebal sedang memburu buronan di kutub selatan, atau tim khusus bersafari di padang Sahara, menyusuri gurun demi gurun hanya untuk menangkap seorang pejabat yang membawa kabur uang rakyat.

Kedengarannya gagah, bukan? Tapi sebagaimana banyak janji politik lain, kalimat itu lebih mirip jargon kampanye ketimbang peta jalan. Ia indah di telinga, tetapi tak pernah menginjak tanah.

Janji Tinggal Kenangan

Kini, beberapa tahun setelah janji itu diucapkan, publik justru menghadapi kenyataan pahit. Antartika tetap dingin membeku, padang pasir tetap luas membakar, dan koruptor tetap hangat di pelukan sistem hukum yang ramah. Alih-alih melihat pengejaran lintas benua, rakyat justru disuguhi potret kontras: penegakan hukum yang berjalan lambat, hukuman yang ringan, bahkan fasilitas yang menggiurkan bagi terpidana korupsi.

Media sosial menyimpan semua rekam jejak itu. Potongan video, meme, dan komentar sinis terus beredar, seakan menjadi pengingat bahwa publik tidak sepenuhnya lupa. Setiap kali ada kasus korupsi baru mencuat, atau berita ringan tentang kemewahan hidup napi korupsi di balik jeruji, janji itu kembali muncul di linimasa. Namun bukan lagi sebagai pengobar semangat, melainkan sebagai bahan olok-olok.

READ  Mengapa Rakyat NTT Peduli?Refleksi Demokrasi dari Polemik Tunjangan DPRD

Apa boleh buat, rakyat di negeri ini memang lebih sering tertawa getir ketimbang menangis. Ketika harapan sudah habis, humor menjadi obat terakhir. Janji mengejar koruptor sampai kutub dan gurun kini lebih sering dianggap sebagai bahan stand-up comedy politik ketimbang visi kebijakan serius.

Remisi dan Irama Ironi

Salah satu contoh terbaru yang membuat publik menggelengkan kepala adalah remisi bagi Setya Novanto, mantan Ketua DPR yang terjerat kasus megakorupsi e-KTP. Pada 16 Agustus lalu, sehari sebelum bangsa ini merayakan Hari Kemerdekaan, Novanto kembali mendapat pengurangan masa hukuman. Alasannya klise: berkelakuan baik.

Tak pelak, publik bertanya-tanya: sejak kapan mengembalikan uang negara triliunan rupiah hanya perlu ditebus dengan “berkelakuan baik” di lapas? Sejak kapan sebuah megakorupsi yang merugikan negara hingga puluhan triliun bisa ditebus dengan syarat administratif?

Ironinya semakin terasa karena remisi itu jatuh tepat sehari sebelum peringatan kemerdekaan. Seolah-olah bangsa ini merayakan hari lahirnya dengan menghadiahkan pengurangan hukuman bagi pelaku kejahatan luar biasa. Di tengah rakyat yang masih harus berjuang keras menebus harga beras, listrik, dan BBM, seorang koruptor kelas kakap justru menikmati potongan masa hukuman.

Janji mengejar sampai Antartika kini terdengar makin jauh, karena faktanya, di sini, di tanah air sendiri, koruptor justru dikejar dengan remisi, bukan hukuman.

Antara Kata dan Kenyataan

Inilah masalah klasik politik kita: jarak antara kata dan kenyataan terlalu lebar. Politikus bisa dengan enteng meluncurkan kalimat gagah berani, bahkan hiperbolis, demi membakar semangat rakyat. Namun ketika rakyat menagih, yang hadir hanyalah wajah muram penuh alasan.

READ  Menebak Kursi Sekda Kota Kupang

Sama seperti janji akan mengejar koruptor sampai ke padang pasir, kata-kata sering kali berakhir menjadi hiasan spanduk atau potongan video kampanye. Tidak ada niat serius untuk menginjakkan kaki di dunia nyata. Kata-kata itu mengapung di udara, melayang di ruang maya, dan akhirnya terdampar di museum kenangan politik.

Apalagi, koruptor tidak perlu berlari sejauh Antartika atau Sahara. Mereka tidak perlu bersembunyi di balik badai salju atau gundukan pasir. Faktanya, sebagian besar dari mereka ada di sekitar kita: di ruang rapat, di meja makan mewah, bahkan di balik jeruji yang tak benar-benar mengekang.

Sungguh ironi: koruptor tidak perlu pergi jauh, tapi janji untuk mengejar mereka justru dibiarkan melayang jauh.

DPR: Dari Tuli ke Tunjangan

Jika bicara tentang korupsi, sulit menutup mata dari gedung DPR yang kerap jadi sorotan. Gedung itu, alih-alih menghadirkan keteladanan, justru lebih sering melahirkan paradoks. Saat rakyat turun ke jalan menolak kenaikan pajak atau harga kebutuhan pokok, para legislator justru lebih sering memilih diam. Tidak ada ruang dialog, tidak ada telinga yang mau mendengar.

Namun, anehnya, ketika bicara soal tunjangan, telinga mereka tiba-tiba peka dan tangan mereka cepat bekerja. Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan kabar kenaikan tunjangan DPR.

Mulai dari tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan, tunjangan beras naik menjadi Rp 12 juta, hingga tunjangan bensin mencapai Rp 7 juta per bulan. Bila ditotal, penghasilan bersih seorang anggota DPR bisa tembus Rp 70 juta per bulan.

Kontras dengan rakyat kecil yang menurut data BPS masih banyak hidup di garis kemiskinan, hanya dengan Rp 20 ribu per hari. Sungguh timpang. Tapi begitulah kenyataan. Rakyat diminta sabar menghadapi krisis, sementara para wakilnya sibuk menumpuk fasilitas.

READ  Prabowo Resmikan Kantor DPD Gerindra di Banten

Ironisnya, para anggota dewan ini sering berkilah bahwa kenaikan tunjangan adalah bentuk penghargaan atas kerja keras. Pertanyaannya sederhana: kerja keras yang mana? Kerja keras menekan tombol “setuju” dalam sidang? Atau kerja keras menutup telinga dari jeritan rakyat?

Antartika dan Padang Pasir: Metafora yang Kian Jauh

Pada akhirnya, Antartika dan padang pasir hanya tinggal metafora. Bukan metafora tentang keberanian, melainkan tentang jauhnya jarak antara janji dan kenyataan. Bukan tentang tekad memburu koruptor, melainkan tentang ketidakmampuan negara memberi keadilan yang sejati.

Rakyat sudah terlalu sering diberi janji. Mereka tahu, kata-kata manis politisi lebih sering berakhir sebagai bahan olok-olok ketimbang kenyataan. Mereka sudah terbiasa menganggap janji itu sebagai hiburan, bukan pedoman.

Dan humor kolektif itu kini bertransformasi menjadi sarkasme: “Koruptor tidak perlu dikejar ke Antartika, cukup ke lapas Sukamiskin—itu pun kadang sudah dapat remisi sebelum es mencair di kutub selatan.”

Jarak yang Membeku

Antartika tetap membeku. Padang pasir tetap kering. Koruptor tetap berjalan bebas di tengah celah hukum yang longgar.

Janji mengejar sampai ke ujung dunia kini hanya tinggal potongan video yang sesekali diputar ulang di media sosial. Bukan sebagai pengingat tekad, melainkan sebagai pengingat bahwa rakyat pernah dibuat percaya pada kata-kata manis yang kini terasa pahit.

Sementara itu, remisi bagi koruptor dan kenaikan tunjangan DPR terus menghiasi halaman berita. Seolah negeri ini ingin memberi pesan bahwa keadilan dan kesetaraan hanya sebatas jargon.

Maka, kita pun tertawa getir. Karena ternyata, Antartika dan padang pasir bukanlah tujuan yang terlalu jauh untuk koruptor. Yang jauh justru harapan rakyat akan janji yang ditepati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *