Oleh: Marselus Natar (rohaniawan Katolik pada Kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus, penulis buku kumpulan cerpen dengan judul Usaha Membunuh Tuhan).
Di Indonesia, ada tiga hal yang seolah tidak pernah bisa dipisahkan: uang, politik, dan korupsi. Tiga kata yang sudah begitu akrab di telinga, sampai-sampai kita bosan mendengarnya, tapi tetap sulit melepaskannya. Hubungan mereka ibarat cinta segitiga: rumit, berbahaya, tapi penuh gairah. Ada kalanya mereka berpura-pura berseteru di depan publik, tapi di balik layar, selalu berdamai dan berpelukan mesra.
Kita semua tahu, demokrasi seharusnya berdiri di atas gagasan, integritas, dan kepercayaan rakyat. Tetapi, di negeri ini, demokrasi sering kali lebih mirip pasar malam: ramai, bising, penuh warna-warni, tapi inti jual-belinya sederhana saja—uang.
Politik: Investasi, Bukan Lagi Pengabdian
Mari kita buka kartu. Hampir tidak ada yang bisa maju ke panggung politik Indonesia tanpa modal. Modalnya pun bukan sekadar niat tulus dan hati bersih, tapi angka nol yang berjejer panjang di rekening bank.
Seorang calon legislatif misalnya, setidaknya harus menyiapkan biaya miliaran rupiah. Biaya itu meliputi: a) Mahar politik ke partai, entah terselubung atau terang-terangan, b) Ongkos cetak baliho dan spanduk yang menghiasi tiap tikungan jalan—kadang sampai lebih banyak daripada papan petunjuk arah, c) Safari politik ke hajatan warga, dari pesta kawin, syukuran panen, hingga sunatan massal. Semua mesti dihadiri dengan “kontribusi sukarela”, d) Dan tentu saja, ongkos paling klasik: serangan fajar, di mana amplop berbicara lebih keras daripada seribu janji.
Tidak heran jika banyak politisi akhirnya memandang jabatan sebagai investasi jangka menengah. Logikanya sederhana: sudah keluar modal miliaran, maka setelah duduk di kursi empuk, modal itu harus kembali—lebih cepat lebih baik.
Kalau sudah begini, gagasan tentang “politik sebagai panggilan hati” terdengar lebih seperti kutipan motivasi di kalender arisan daripada kenyataan.
Demokrasi Pasar Malam: Siapa Bayar, Dia Dapat Suara
Idealnya, rakyat adalah hakim tertinggi dalam demokrasi. Suara rakyat itu sakral, katanya. Tapi praktik di lapangan sering kali jauh berbeda. Suara rakyat bisa ditukar dengan uang tunai, sembako, bahkan kaos oblong bergambar calon tertentu.
Fenomena ini tidak bisa dianggap sepele. Banyak warga justru menganggap pemberian amplop sebagai “hak” mereka. Kalau tidak ada amplop, calon dianggap pelit. Kalau calon pelit, buat apa dipilih? Logika yang terbalik, tapi sayangnya sudah mengakar.
Akibatnya, kualitas pemimpin yang terpilih jarang didasarkan pada kapasitas dan integritas. Lebih sering karena ketebalan kantong. Demokrasi pun berubah jadi arena lelang suara: siapa yang paling royal, dialah yang menang.
Lucunya, setelah pemilu selesai, rakyat yang sama akan mengeluh: “Kok pejabat korupsi melulu, ya?” Padahal merekalah yang ikut memberi tiket masuk dengan harga murah. Demokrasi ala kita memang kadang lebih cocok disebut komedi pasar malam ketimbang pesta rakyat.
Korupsi: Balik Modal, Syukur-Syukur Untung
Setelah modal besar digelontorkan, wajar jika banyak pejabat mencari cara untuk balik modal. Sayangnya, cara paling cepat dan “efektif” adalah korupsi. Dari proyek pembangunan jalan, pengadaan barang fiktif, hingga jual beli jabatan, semua bisa jadi ladang emas.
Dan yang menarik, sebagian pejabat tidak berhenti hanya pada tahap balik modal. Mereka justru melangkah lebih jauh: akumulasi kekayaan lintas generasi. Tujuannya bukan sekadar menutup biaya kampanye, tapi juga memastikan cucu-cucu mereka bisa hidup mewah.
Maka lahirlah pejabat dengan harta triliunan rupiah, rumah di mana-mana, dan koleksi mobil sport yang bahkan tidak cukup jalan untuk diparkir di kota asalnya. Semua ini dari gaji resmi? Mustahil. Bahkan jika gajinya dikumpulkan sejak zaman Majapahit, tetap tidak akan mencukupi.
Partai Politik: Dari Rumah Gagasan Jadi Mesin Uang
Seharusnya partai politik adalah dapur gagasan. Tempat di mana ide-ide besar tentang bangsa dibahas, diperdebatkan, dan ditawarkan ke publik. Tapi kenyataannya, partai lebih mirip perusahaan keluarga atau koperasi elite.
Mereka yang ingin maju harus siap dengan mahar. Besarannya bisa bervariasi, tergantung posisi yang dituju. Kursi bupati tentu berbeda tarifnya dengan kursi DPRD. Kursi gubernur lebih mahal lagi. Dan jangan ditanya kalau tujuannya kursi presiden—itu level kapital besar.
Sistem ini membuat politik hanya bisa dimasuki oleh dua kelompok: mereka yang memang sudah kaya raya, atau mereka yang punya sponsor kaya raya. Orang-orang cerdas, jujur, dan berintegritas tapi miskin modal hanya bisa jadi penonton dari jauh—atau sekadar pengamat politik di warung kopi.
Hasilnya, politik bukan lagi arena adu gagasan, tapi arena adu uang. Dan karena pintu masuknya sudah bobrok, jangan kaget kalau hasilnya pun bobrok.
Rakyat: Penonton, Pemain, sekaligus Korban
Yang paling tragis dalam drama ini adalah rakyat sendiri. Mereka bukan hanya penonton, tapi juga pemain, sekaligus korban.
Sebagai penonton, mereka menyaksikan pesta politik dengan penuh harap. Sebagai pemain, mereka menjual suara dengan harga murah. Dan sebagai korban, mereka akhirnya merasakan dampak langsung dari kebijakan yang korup: jalan rusak, pendidikan terbengkalai, harga kebutuhan pokok melonjak, dan pelayanan publik yang tak kunjung membaik.
Lebih ironis lagi, banyak rakyat yang sudah terbiasa dengan praktik korupsi. Ada yang berkata, “Namanya juga pejabat, pasti ada lah bagian mereka.” Mentalitas permisif ini membuat korupsi seolah menjadi budaya.
Padahal, yang paling dirugikan tetap rakyat. Uang negara yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas umum malah lenyap masuk kantong pribadi. Rakyat tetap miskin, pejabat tetap kaya, dan demokrasi tetap jalan di tempat.
Sandiwara Pemberantasan Korupsi
Jangan salah, Indonesia punya lembaga antikorupsi, operasi tangkap tangan, dan sidang-sidang yang disiarkan televisi. Semua itu tampak gagah di permukaan. Tetapi mari jujur: sering kali pemberantasan korupsi lebih mirip sandiwara.
Yang tertangkap biasanya pejabat kelas menengah, yang salah langkah atau kalah jaringan. Sementara nama-nama besar entah kenapa selalu lolos dari jeratan hukum. Publik pun bersorak setiap kali ada yang ditangkap, seolah-olah korupsi sudah diberantas. Padahal di balik layar, pemain utama tetap tertawa sambil menyesap kopi mahal.
Sandiwara ini berulang, dan rakyat pun masih setia menontonnya. Persis seperti sinetron panjang yang ratingnya tidak pernah turun, meski jalan ceritanya bisa ditebak sejak episode pertama.
Solusi atau Ilusi?
Pertanyaan besar: bisakah kita memutus cinta segitiga ini? Secara teori, tentu bisa. Tapi praktiknya? Itu persoalan lain.
Ada tiga hal yang selalu disebut sebagai kunci:
- Reformasi biaya politik. Jika biaya masuk politik lebih murah, pejabat tidak perlu balik modal dengan korupsi. Tapi apakah partai mau kehilangan sumber pendapatan besarnya?
- Pendidikan rakyat. Rakyat harus berhenti menjual suara. Tapi bagaimana mungkin, kalau kebutuhan sehari-hari saja sulit terpenuhi? Amplop seratus ribu menjelang pemilu lebih menggiurkan ketimbang janji lima tahun.
- Hukum yang tegas. Korupsi harus ditindak tanpa pandang bulu. Sayangnya, hukum di Indonesia sering tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Ketiga solusi ini terdengar indah. Tapi sejauh ini, lebih banyak jadi ilusi. Setiap kali kita bicara reformasi, ujungnya selalu kompromi.
Demokrasi yang Lapar
Pada akhirnya, uang, politik, dan korupsi akan terus berjalan bergandengan di negeri ini, seperti trio abadi yang sulit dipisahkan. Selama sistem politik mahal, selama rakyat rela menjual suara, dan selama hukum masih bisa dinegosiasikan, cinta segitiga ini tidak akan pernah berakhir.
Demokrasi kita pun sering tampak seperti pesta besar dengan panggung dangdut, baliho warna-warni, dan jargon indah. Tetapi setelah pesta usai, yang tersisa hanyalah rakyat yang tetap lapar—lapar akan keadilan, lapar akan kesejahteraan, lapar akan pemimpin yang benar-benar peduli.
Dan selama rakyat tetap lapar, jangan kaget kalau mereka terus menjual suaranya untuk sekadar sebungkus nasi. Begitulah demokrasi kita: kenyang janji, tapi lapar realita.











