Berita  

Suara yang Tergilas, Hati yang Melawan : Demonstrasi sebagai Panggilan Kesadaran

Oleh: Gulielmus Albertus Emuliyono Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik, kampus Warmadewa, Bali.

Demonstrasi di jalanan bukan sekadar keramaian massa. Ia adalah wajah gamblang dari kegelisahan rakyat yang merasa tak lagi didengar. Suara-suara yang selama ini tercekat kebijakan timpang akhirnya mencari ruang untuk bergema. Namun, tidak jarang suara itu tergilas aparat, dicap pengganggu stabilitas, bahkan dianggap ancaman bagi negara.

Padahal, dalam filsafat politik, demonstrasi adalah tanda bangkitnya kesadaran kolektif. Rakyat menuntut keadilan yang lebih autentik, bukan sekadar formalitas prosedural demokrasi.

Kritik Socrates dan Relevansinya

Socrates, filsuf klasik dari Athena, memberi pelajaran penting. Hidup di pusat demokrasi pertama di dunia, ia justru terkenal sebagai pengkritik demokrasi. Demokrasi yang memberi ruang pada semua orang bersuara tanpa pengetahuan dan kebijaksanaan, menurutnya, berisiko melahirkan tirani mayoritas. Ia mengibaratkan: menyerahkan nasib negara pada rakyat tanpa kebijaksanaan sama dengan menyerahkan kapal kepada penumpang, bukan nahkoda yang memahami lautan.

READ  Kompetisi BioChem Unwira Kupang Tingkatkan Minat Sains Siswa SMA

Kekhawatiran Socrates itu seakan menemukan gaungnya di Indonesia. Demonstrasi kerap dipandang sekadar kegaduhan irasional. Massa dituding mudah terseret emosi, bukan akal. Namun, yang kerap dilupakan penguasa adalah bahwa jeritan di jalan lahir dari pengalaman pahit sehari-hari. Rakyat tidak turun untuk gaduh, melainkan untuk menyuarakan penderitaan.

Kekuasaan yang Kehilangan Kebijaksanaan

Jika Socrates menekankan pentingnya kebijaksanaan, maka demonstrasi hari ini dapat dibaca sebagai panggilan kesadaran bahwa bangsa ini masih kekurangan kebijaksanaan dalam kekuasaan. Rakyat turun ke jalan bukan untuk melawan demi melawan, melainkan untuk mengingatkan: kekuasaan sejatinya bukan milik segelintir elit, melainkan amanah untuk memastikan kebaikan bersama.

READ  Sampah Jadi Tiket Baca, Rumah Literasi di Kupang Tanamkan Karakter Anak Desa

Paradoks pun muncul. Socrates khawatir suara massa menyingkirkan rasionalitas. Namun kenyataannya, justru elit penguasa yang kerap mengabaikan rasionalitas keadilan. Mereka lebih sibuk mengamankan kepentingan sempit ketimbang mendengar jeritan rakyat. Karena itu, demonstrasi sesungguhnya adalah koreksi sosial sekaligus teguran moral agar negara kembali ke jalan yang adil.

Panggilan Kesadaran bagi Negara

Demonstrasi tidak semata letupan emosi. Ia adalah pernyataan bahwa kebenaran tidak boleh dibungkam, dan bahwa keadilan hanya lahir bila suara kecil pun didengar. Socrates sendiri memilih mati ketimbang mengkhianati prinsip kebenaran, meski ironisnya ia justru menjadi korban dari demokrasi yang ia kritik.

READ  Menagih Janji Dialog: Kemana Komitmen Rasionalisasi Tunjangan DPRD NTT?

Hari ini, demonstrasi mengingatkan bangsa Indonesia bahwa demokrasi tanpa kebijaksanaan hanya akan melahirkan ketidakadilan. Pada saat yang sama, suara rakyat adalah jiwa demokrasi yang mesti dijaga. Tanpa itu, negara hanya akan menjadi panggung kekuasaan yang kering makna.

Suara yang tergilas tetaplah hati yang melawan. Dari jalanan, dari teriakan, dari barisan massa, lahir kesadaran: demokrasi sejati hanya mungkin jika kekuasaan mau mendengar, dan rakyat tak pernah lelah bersuara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *