Oleh: Wily Mustari Adam, SE., M.Acc
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Sektor Publik, Universitas Brawijaya
Gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah Indonesia sejak 25 Agustus 2025 bukanlah sekadar reaksi emosional sesaat. Aksi-aksi ini menyuarakan keresahan terkait ketimpangan antara kebijakan elit dan realitas rakyat. Di tengah arus tuntutan nasional, salah satu isu yang mencuat dan menyita perhatian adalah Peraturan Gubernur NTT No. 22 Tahun 2025, yang mengatur besaran tunjangan perumahan dan transportasi bagi anggota DPRD NTT. Pertanyaannya, mengapa rakyat begitu peduli?
Jawabannya enteng namun mengandung makna teramat mendalam: karena rakyat masih percaya bahwa demokrasi harus berpihak pada keadilan sosial.
Dari Aspirasi Rakyat, Bukan Menara Gading Kekuasaan
Bukankah DPRD lahir dari suara rakyat? Bukankah mereka dipilih untuk menjadi perpanjangan tangan harapan rakyat NTT, bukan sekadar penikmat fasilitas negara? Maka wajar ketika publik bereaksi keras terhadap kebijakan yang terkesan elitis di tengah kondisi ekonomi daerah yang masih tertinggal.
Dalam situasi di mana lebih dari 1,3 juta penduduk NTT masih hidup di bawah garis kemiskinan, dan infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, serta layanan kesehatan dan pendidikan belum optimal, kabar bahwa anggota dewan menerima tunjangan hingga Rp41,48 miliar per bulan (belum termasuk dana reses dan berbagai alokasi lainnya), tentu terasa seperti ironi yang menyakitkan.
Bagi sebagian besar masyarakat yang masih kesulitan membayar kontrakan sederhana, melihat wakilnya tinggal di rumah dengan luas bangunan 150 m² dan tanah 350 m² terasa bukan hanya tidak adil tetapi juga menjauh dari nurani publik.
NTT sendiri dikenal sebagai salah satu provinsi dengan kemampuan keuangan daerah kategori sedang. Namun, pengalokasian anggaran yang begitu besar untuk tunjangan pejabat menimbulkan tanda tanya: di mana letak skala prioritasnya?
Rakyat tidak anti pada kesejahteraan pejabat. Tapi rakyat menuntut proporsionalitas dan kewajaran, terutama ketika uang rakyat digunakan. Pergub NTT No. 22/2025 dinilai tidak merujuk secara ketat pada hasil survei penilai independen, Standar Biaya Umum (SBU), serta peraturan perundang-undangan lainnya. Ini bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi juga mencerminkan jarak antara pengambil kebijakan dan denyut nadi rakyat.
Ombudsman RI Perwakilan NTT telah menyampaikan pandangannya secara tegas. Mereka menilai bahwa Pergub No. 22 Tahun 2025 tidak sejalan dengan sejumlah regulasi penting, antara lain:
PP No. 18 Tahun 2017 jo. PP No. 1 Tahun 2023, yang menekankan asas kepatutan, kewajaran, dan rasionalitas.
Permendagri No. 62 Tahun 2017, yang menetapkan klasifikasi kemampuan keuangan daerah, di mana NTT termasuk kelompok sedang.
Pergub No. 25 Tahun 2025, yang menetapkan Standar Biaya Umum (SBU) untuk sewa rumah dan kendaraan.
Lebih dari itu, tunjangan yang ditetapkan tidak mempertimbangkan hasil survei penilai independen terkait kewajaran harga sewa rumah dan transportasi. Survei tersebut menunjukkan bahwa:
Sewa rumah wajar di Kota Kupang maksimal hanya Rp4,5 juta/bulan,
Biaya transportasi wajar maksimal Rp18 juta/bulan.
Bandingkan dengan yang ditetapkan dalam Pergub: Tunjangan perumahan DPRD: Rp23,6 juta/bulan,
Tunjangan transportasi DPRD: hingga Rp31,8 juta/bulan.
Artinya, selisihnya lebih dari 500% dari standar wajar. Fakta ini memperkuat persepsi publik bahwa tunjangan tersebut tidak hanya berlebihan, tetapi juga melanggar prinsip efisiensi dan keadilan anggaran.
Demonstrasi dan kritik yang disuarakan mahasiswa, aktivis, tokoh masyarakat, hingga pengamat keuangan publik menunjukkan satu hal yaitu rakyat semakin sadar bahwa APBD adalah uang mereka. Dana publik tidak boleh dipakai semena-mena untuk kepentingan pribadi atau kelompok, melainkan harus dikelola dengan prinsip efisiensi, transparansi, dan keberpihakan pada masyarakat.
Tuntutan rakyat bukanlah bentuk anti-pemerintah, tapi manifestasi dari harapan terhadap pemerintahan yang lebih bersih dan berpihak.
Apresiasi untuk Respons Cepat, Tapi Jangan Berhenti di Situ
Tentu kita patut mengapresiasi langkah cepat Gubernur NTT yang memfasilitasi dialog terbuka bersama mahasiswa, Forkopimda, dan Ombudsman pada 9 September 2025. Kesediaan untuk membuka ruang diskusi menunjukkan bahwa pemerintah masih mendengar. Lebih jauh, DPRD NTT juga menyerahkan evaluasi kepada Gubernur setelah mencermati kritik publik, sebuah indikasi bahwa tekanan konstruktif dari masyarakat bisa menghidupkan kembali fungsi pengawasan yang semestinya berjalan.
Namun, perjuangan rakyat tidak boleh berhenti di sini. Reformasi tata kelola tunjangan dan belanja daerah harus dilakukan secara menyeluruh. Harus ada mekanisme pengawasan yang lebih transparan, partisipatif, dan berkelanjutan agar kasus serupa tidak terulang.
Kepedulian rakyat NTT terhadap isu tunjangan bukan sekadar ekspresi kekecewaan ekonomi, melainkan refleksi mendalam atas krisis representasi dalam demokrasi kita. Ketika rakyat merasa ditinggalkan oleh wakilnya, suara protes menjadi jalan terakhir untuk menyelamatkan makna perwakilan itu sendiri.
Ini juga menjadi pelajaran penting bagi seluruh Indonesia. Bahwa demokrasi yang sehat bukan diukur dari jumlah pemilu yang digelar, tetapi dari sejauh mana suara rakyat benar-benar memengaruhi arah kebijakan publik.
Mengawal Demokrasi, Merawat Harapan
Perubahan sejati tidak bisa hanya bergantung pada momen demonstrasi atau sikap sementara pejabat. Kita memerlukan komitmen jangka panjang dari semua pihak:
Pejabat publik harus kembali kepada esensi pelayanan: bekerja untuk rakyat, bukan memperkaya diri sendiri.
Masyarakat sipil dan akademisi harus terus aktif menjadi mitra kritis dalam mengawasi kebijakan publik.
Media dan lembaga pengawas perlu memperkuat narasi transparansi dan akuntabilitas.
Maka, ketika kita bertanya, “Mengapa rakyat peduli?” Jawabannya jelas: karena rakyat masih percaya. Masih ada harapan bahwa demokrasi bisa ditegakkan, bahwa pemerintah bisa dibenahi, dan bahwa keadilan sosial bukan sekadar jargon politik, melainkan hak yang layak diperjuangkan.
Kepedulian rakyat bukan tanda kebencian, melainkan bukti bahwa cinta terhadap tanah air belum mati. Dan selama kepedulian ini tetap menyala, harapan untuk Flobamorata yang lebih adil dan sejahtera akan terus hidup.*











