Rahim di Dalam Mimpi

Ilustrasi (pixabay)

Oleh : Marselus Natar (Tinggal di Oesapa, Kupang Nusa Tenggara Timur dan mulai menulis cerpen sejak tahun 2019. Penulis buku antologi cerpen dengan judul Usaha Membunuh Tuhan dan novel dengan judul Janji yang Kian Koyak dan Terkoyaklah. Beberapa karyanya telah dimuat di media lokal dan blog pribadi)

Hujan baru saja berhenti. Aroma tanah basah dan kopi sisa malam masih menggantung di udara. Teodora duduk di pinggir ranjang kosnya yang sempit, menatap dinding yang lembap dan retak di beberapa bagian. Kipas angin berputar lambat, menebarkan udara pengap bercampur bau parfum Byredo Mumbai Noise dan debu yang belum sempat dibersihkan.

Di luar jendela, suara motor mahasiswa yang baru pulang dari tongkrongan masih terdengar. Lampu-lampu gang kecil memantulkan cahaya kuning ke jendela, memotong bayangan wajahnya. Teodora memeluk lutut, mencoba menenangkan dada yang berdegup tak beraturan.

Sudah seminggu penuh ia tak bisa tidur nyenyak. Setiap kali memejamkan mata, mimpi yang sama datang –mimpi yang terlalu nyata untuk disebut sekadar bunga tidur. Dalam mimpi itu, seorang bayi laki-laki duduk di pojok kamar, tubuhnya pucat, matanya besar dan jernih. Ia tidak menangis, hanya menatap. Dalam keheningan, bibir kecil itu bergerak perlahan.

“Mama belum memberiku nama.”

Awalnya Teodora mengira itu halusinasi. Ia baru saja melewati minggu-minggu berat. Tubuhnya masih lemah, pikirannya masih kacau. Tapi ketika mimpi itu datang untuk ketiga kali, dan suara bayi itu mulai memanggil “Mama” dengan nada lirih yang sama, sesuatu di dalam dirinya mulai runtuh. Kota ini dulu memberinya kebebasan. Atau begitulah ia pikir.

Di awal kuliah, segalanya terasa baru. Ia menulis puisi di balkon kos, ikut organisasi sastra, minum kopi hingga larut bersama teman-teman. Lalu datang Siprianus -lelaki dengan tawa ringan, rambut acak, dan tatapan yang selalu seperti menyimpan rahasia. Mereka bertemu di kantin dan cepat akrab. Tukaran nomor WhatsApp. Chattingan basa-basi, berbagi cerita, tertawa hingga hingga saling ungkap perasaan.

Dari tawa ke pelukan, dari pelukan ke malam-malam yang tak lagi bisa ia ceritakan pada siapa pun.

“Lu jan tarlalu serius,” kata Siprianus suatu malam sambil menyalakan rokok. “Ketong cuma cari bahagia sa. Ketong masi muda, hidop harus penuh deng kebebasan”
Kata “kebebasan” waktu itu terdengar sederhana. Teodora mengangguk, menelan bulat-bulat keyakinan bahwa hidup adalah soal kebebasan, bukan tanggung jawab. Tapi kebebasan ternyata punya cara sendiri untuk menagih balas.

Beberapa bulan kemudian, dua garis merah muncul di test pack murahan. Tangannya gemetar. Ia menatap hasil itu lama, berharap garis kedua akan menghilang. Tapi ia tak ke mana-mana. Ketika Teodora menunjukkan test pack itu pada Siprianus, wajah lelaki itu seketika pucat.

READ  Aku Terkenang Flores: Laksamana Tasoku Sato

“Apakah itu artinya Lu hamil? Lu kasih gugur sa, pokoknya Be son mau tau” katanya tanpa ragu. “Ketong dua belum siap na.”

Kata “Ketong” di mulutnya terdengar asing. Teodora tahu, maksudnya bukan mereka berdua, melainkan dirinya sendiri.
Hari-hari setelah itu menjadi kabur. Mereka mencoba berbagai cara untuk menghapus kehidupan kecil yang tumbuh di rahimnya. Ramuan dari orang pintar di pinggir kota, minuman keras, bahkan doa-doa yang diucapkan tanpa iman.

Namun kandungan itu bertahan. Seolah ada kekuatan yang menolak hilang.

Lalu, pada suatu malam, dalam kesepian kamar kos dan rasa takut yang menyesakkan, Teodora melahirkan. Tak ada tangisan, tak ada pertolongan. Hanya napas yang berat, dan tubuh mungil yang terbaring di lantai dingin. Bayi itu membuka mata, memandangnya sebentar, lalu menangis –pelan, seperti bisikan.

Dalam panik dan ketakutan, Teodora menutup mulut kecil itu dengan tangannya. Suaranya lenyap. Tubuh mungil itu berhenti bergerak.

Ia tidak tahu berapa lama ia duduk di sana, memandangi apa yang baru saja dilakukannya. Hujan turun di luar, mengguyur atap seng dengan suara berulang. Ia membungkus bayi itu dengan kain selimut, lalu keluar ke belakang kos. Di sana, di antara pot bunga layu dan tumpukan sampah, ia menggali tanah dengan sekop kecil yang dulu dipakai untuk menanam lidah mertua.

Di situlah ia mengubur bayinya. Tak ada doa. Hanya isak pelan yang tersangkut di tenggorokan.

Tiga hari setelah itu, mimpi datang.
Pertama, hanya suara tangisan samar. Malam berikutnya, sosok bayi itu muncul. Duduk di pojok kamar, menatapnya dalam diam. Lalu berbicara.

“Mama belum memberiku nama.”
“Mama belum memberitahuku siapa ayahku.”

Teodora terbangun dengan keringat dingin. Tubuhnya menggigil meski udara kamar panas. Ia menyalakan lampu, memandangi pojok kamar itu lama-lama. Kosong. Tapi aroma tanah basah seolah menempel di udara.

Hari-hari berikutnya, Teodora mulai sulit membedakan antara tidur dan sadar. Kadang ia mendengar tangisan bayi dari kamar mandi. Kadang ia merasa sesuatu menggelitik di perutnya, seperti ada yang bergerak di dalam sana.

Ia mencoba bercerita pada Siprianus. Lelaki itu tertawa kecil, lalu merangkulnya.

“Lu cuma stres sa ma,” katanya lembut. “Itu cuma mimpi. Lu son tau a, semua orang punya mimpi aneh setelah kejadian besar.”

READ  Sebuah Keteladanan dari Joao: Mundur dengan Kepala Tegak

Namun malam berikutnya, suara bayi itu datang lagi, kali ini lebih tegas, lebih gelap.

“Kalau mama belum beri aku nama, aku akan kembali ke rahim mama. Perut mama akan membesar seperti sedang hamil. Itu untuk selamanya. Hamil tanpa melahirkan.”

Teodora terbangun dengan perut menegang, sakit seperti diremas dari dalam. Ia menatap cermin, matanya merah, wajahnya pucat. Ia merasa benar-benar sendiri di dunia ini.
Hari kelima.

Ia tidak kuliah, tidak keluar kamar. Kosnya seperti kubur kecil yang menelan waktu.
Malam itu, bayi itu kembali datang dalam mimpi. Kini ia berdiri, tubuhnya tampak lebih jelas. Wajahnya bukan wajah marah –hanya sedih, seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba.

“Ini malam terakhirku, Mama. Aku hanya ingin tahu siapa namaku dan siapa ayahku.”

Kata-kata itu membuat dada Teodora bergetar. Ia menangis tanpa suara, lalu berbisik pelan, “Ayahmu Siprianus, nak”
Bayi itu menatapnya, lalu berkata lirih, “Aku ingin mendengarnya langsung dari ayahku.”

Kemudian ia lenyap, meninggalkan hawa dingin yang menusuk tulang.

Malam berikutnya, Siprianus bermimpi.

Ia melihat dirinya duduk di meja belajar. Di atas meja itu, seorang bayi kecil duduk diam, menatapnya. Matanya bening, tapi di dalam bening itu ada kedalaman yang membuat Siprianus ingin berpaling.

“Apakah engkau ayahku?”

Pertanyaan itu menggema di kepalanya. Ia berusaha tersenyum, tapi bibirnya kaku.

“Mungkin aku ayahmu, mungkin bukan. Mamamu punya banyak pacar,” katanya, hampir tanpa sadar. Bayi itu menunduk. Suaranya seperti embusan angin.

“Mama bilang engkau ayahku. Mungkinkah ia menipuku?”

Siprianus ingin menepuk bahu bayi itu, tapi tangannya menembus udara. Ia hanya bisa memandang, diam.

“Aku tidak ingin banyak,” kata bayi itu. “Aku hanya ingin nama.”

Hening panjang. Lalu Siprianus menghela napas.

“Namamu Legianus. Dari kata Legion –artinya banyak. Engkau lahir dari banyak lelaki pengecut, mungkin juga aku.”

Bayi itu mengangguk pelan. Senyumnya samar.

“Terima kasih, Ayah.” Dan ia menghilang.
Siprianus terbangun dengan air mata di pipi. Ia memandangi tangannya, seolah berharap menemukan bekas sentuhan. Tapi yang ada hanya dingin yang menempel di kulit.

Keesokan paginya, Teodora bangun lebih pagi dari biasanya. Cahaya matahari menembus tirai jendela yang tipis. Udara di kamar terasa berbeda –masih lembap, tapi tidak seberat sebelumnya.

Ia membuat kopi, duduk di lantai, menatap pot bunga di belakang kos. Dari sela tanah yang dulu ia gali, tumbuh tunas kecil berwarna hijau muda.

READ  Melki Laka Lena: “Berkumpul dengan Anak Marga Adalah Kerinduan”

Entah kenapa, ia tidak merasa takut.

Siprianus datang sore itu, wajahnya lesu. Ia tidak banyak bicara. Hanya duduk di kursi plastik di pojok kamar, menatap dinding yang sama dengan pandangan kosong.

“Semalam Beta bermimpi,” katanya lirih.

Teodora hanya menatapnya. Mereka tidak perlu menjelaskan mimpi yang sama. Keduanya tahu. Mereka duduk lama dalam diam. Suara azan magrib dari masjid sebelah mengalun pelan, disusul derit sepeda tukang sayur di gang kecil.

Akhirnya Teodora berkata, “Lu memberinya nama, kan?” Siprianus mengangguk pelan. “Legianus.”

“Legianus…” Teodora mengulang perlahan, seolah mencicipi bunyinya. “Apa arti nama itu?” “Lu tanya ke dia sa kalau malam ini dia datang lagi.” Cetus Siprianus.

Mereka tidak menatap satu sama lain. Tapi dalam diam itu, ada sesuatu yang pecah. Bukan amarah, bukan juga cinta -hanya kesadaran bahwa mereka pernah kehilangan sesuatu yang tak bisa kembali.

Malamnya, Teodora tidur dengan tenang untuk pertama kalinya. Dalam mimpinya, ia melihat taman kampus yang luas. Di tengahnya, seorang bayi kecil berjalan perlahan, membawa bunga putih di tangannya. Ia menoleh, tersenyum padanya.
“Terima kasih, Mama.”

Teodora ingin berlari mendekat, tapi tubuhnya terasa ringan, seperti melayang. Bayi itu berjalan ke arah cahaya, lalu lenyap di antara pepohonan yang berkilau. Ketika ia terbangun, udara pagi begitu jernih. Di luar, suara burung-burung kecil terdengar untuk pertama kalinya sejak lama.

Ia membuka jendela, membiarkan cahaya masuk. Di bawah sana, pot bunga yang sama kini mekar dengan tiga kelopak putih. Teodora menatapnya lama-lama, lalu tersenyum.

Tidak ada lagi tangisan di malam hari, tidak ada lagi bisikan di telinga. Hanya sunyi yang lembut, seperti maaf yang akhirnya menemukan tempatnya.

Siprianus pindah kos beberapa minggu kemudian. Ia bilang ingin mencari tempat yang “lebih tenang”, tapi Teodora tahu ia hanya ingin lari dari kenangan yang menempel di dinding kamar ini.

Namun setiap kali malam turun, dan hujan mulai mengetuk atap seng, kadang ia masih terbangun karena mendengar sesuatu –bukan tangisan, bukan suara langkah, hanya bunyi lirih seperti hembusan napas seorang bayi yang tertidur.

Ia tak lagi takut. Karena ia tahu, di suatu tempat yang tak bisa dijangkau oleh rasa bersalah, ada kehidupan kecil yang akhirnya diberi nama.

Dan mungkin, hanya itu yang sebenarnya dibutuhkan setiap arwah: diingat dengan tenang.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *