Oleh: Marselus Natar (rohaniawan Katolik pada Kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus, penulis buku kumpulan cerpen dengan judul Usaha Membunuh Tuhan)
Di sebuah negeri yang kursinya lebih mahal daripada harga kejujuran, kabar tentang mundurnya seorang direktur utama jarang terdengar. Kursi, dalam banyak kasus, dianggap lebih sakral daripada altar ibadah. Ia dipuja, dipertahankan mati-matian, bahkan ketika badai kritik menghantam atau kapal perusahaan sudah hampir karam. Tetapi Joao Angelo De Sousa Mota, Direktur Utama PT. Agrinas Pangan Nusantara, memutuskan sesuatu yang membuat banyak orang terdiam—ia memilih mundur. Keputusan itu diambil Joao, pada Kamis 11 Agustus 2025, di mana kondisi ‘rumah kita’ Indonesia, tengah dihujani banjir kritikan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, demo terjadi di mana-mana.
Ya, mundur. Kata sederhana yang di telinga pejabat negeri ini sering terdengar seperti kutukan. Kata yang membuat dada sesak, kening berkerut, dan ego terluka. Mundur, bagi sebagian besar elite kita, sama artinya dengan mati sebelum waktunya. Tetapi Joao membalikkan tafsir itu. Ia menunjukkan bahwa mundur bisa menjadi tanda hidup—hidup dalam kejernihan hati, keberanian moral, dan kelegawaan jiwa.
Administrasi yang Menyesakkan
Alasan Joao mundur pun sebenarnya sangat sederhana, meski penuh ironi: proses administrasi yang panjang dan bertele-tele. Bayangkan, seorang dirut yang tugasnya seharusnya fokus mengembangkan visi perusahaan, malah diseret oleh kerumitan birokrasi yang tak kunjung selesai. Enam bulan menjabat, enam bulan pula waktunya terbuang untuk hal-hal yang semestinya bisa dibereskan hanya dalam hitungan minggu.
Sungguh khas Indonesia: birokrasi yang gemar menyiksa. Kita sudah terbiasa melihatnya. Urus izin, butuh tanda tangan. Minta tanda tangan, butuh stempel. Cari stempel, pejabatnya lagi “dinas luar”. Ketika akhirnya bertemu, eh, suratnya hilang. Rakyat biasa sudah cukup menderita dengan pola semacam ini, apalagi seorang direktur yang dituntut membawa perusahaan ke arah yang lebih baik.
Maka, Joao memilih berhenti. Ia tidak mau tenggelam dalam lautan kertas dan perangkap birokrasi. Keputusan yang tampak sederhana itu sesungguhnya mengandung kritik tajam: bagaimana mungkin sebuah perusahaan milik negara bisa berkembang jika para pemimpinnya dipaksa habis energi hanya untuk mengurus administrasi?
Mundur Itu Kekuatan
Di negeri ini, mundur sering disamakan dengan kelemahan. Kita begitu terbiasa melihat pejabat menempel pada kursi seolah ia dan kursi itu lahir kembar siam. Jabatan dianggap sebagai mahkota yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Padahal, justru dengan mundur seorang pemimpin bisa menunjukkan kekuatan sejatinya.
Joao tidak menunggu hingga publik marah. Ia tidak menunggu hingga perusahaan benar-benar runtuh. Ia tidak menunggu sampai dipaksa turun. Ia mundur sebelum semuanya terlambat. Tindakan ini, kalau dipikir-pikir, membutuhkan keberanian lebih besar daripada bertahan. Sebab, mundur berarti mengakui keterbatasan, dan mengakui keterbatasan adalah sesuatu yang paling sulit dilakukan oleh mereka yang mabuk kuasa.
Bandingkan dengan banyak pejabat kita: bahkan ketika jelas-jelas gagal, tetap saja enggan lengser. Bahkan ketika tersandung kasus korupsi, masih punya muka untuk bilang “saya dikriminalisasi”. Bahkan ketika rakyat sudah muak, tetap menganggap dirinya penyelamat bangsa.
Seolah-olah kursi jabatan itu bukan hanya benda mati, melainkan bagian dari identitas yang tak boleh dicabut. Padahal, kursi hanyalah kursi. Hari ini ditempati, besok bisa dipindahkan.
Satir Kursi yang Sakral
Mari kita bicara dengan nada sedikit sarkas. Betapa sering kita melihat pejabat di negeri ini yang rela melakukan apa saja demi mempertahankan kursi. Kalau kursi itu bisa bicara, mungkin ia sudah menjerit kesakitan, bosan diduduki oleh pantat yang sama selama puluhan tahun, meski pantat itu sudah jelas tidak kompeten.
Ada yang bilang, pejabat kita punya semboyan: “lebih baik kehilangan muka daripada kehilangan kursi.” Betul sekali. Buktinya, berapa banyak yang dengan enteng menggadaikan integritas, menipu rakyat, atau pura-pura tidak tahu hukum, hanya supaya tidak perlu menulis surat pengunduran diri?
Padahal, bukankah seharusnya jabatan adalah amanah, bukan jaminan hidup enak? Amanah itu dijalankan selama ada kepercayaan, dan ketika kepercayaan itu luntur, sudah sepatutnya dilepaskan. Tetapi, di negeri ini, logika dibalik: jabatan diperlakukan sebagai harta warisan keluarga yang tidak boleh berpindah tangan.
Joao dan Keteladanan yang Langka
Karena itulah, langkah Joao terasa begitu langka. Ia mundur dengan kepala tegak. Ia mundur bukan karena terdesak, bukan karena dipermalukan publik, bukan karena kasus skandal yang menyeret namanya. Ia mundur karena sadar, jalan ini tidak sehat untuk dirinya maupun perusahaan.
Ini adalah keteladanan yang perlu kita catat. Bahwa kehormatan seorang pemimpin tidak hanya diukur dari apa yang ia raih ketika menjabat, tetapi juga dari cara ia meninggalkan jabatannya. Banyak orang bisa naik, tetapi tidak semua orang bisa turun dengan elegan.
Keputusan Joao adalah warisan sikap: ia mengajarkan bahwa melepaskan jabatan dengan lapang dada adalah bagian dari kepemimpinan. Dalam sejarah, kita lebih sering mengingat mereka yang tahu kapan harus berhenti, ketimbang mereka yang berambisi bertahan sampai titik nadir.
Refleksi untuk Negeri yang Lupa Malu
Apa yang dilakukan Joao seharusnya menjadi bahan refleksi untuk para pemimpin negeri ini. Sayangnya, refleksi adalah barang mahal. Kita lebih suka sibuk mencari kambing hitam daripada bercermin. Kita lebih suka menyalahkan keadaan daripada mengakui kesalahan.
Bayangkan seandainya pejabat kita punya sikap seperti Joao. Berapa banyak masalah negara yang bisa diselesaikan lebih cepat? Berapa banyak energi bangsa yang bisa dihemat, karena tidak lagi tersita oleh drama mempertahankan kursi?
Tetapi tentu saja, itu hanya andai-andai. Kenyataannya, pejabat kita lebih rela mati berdiri di kursi daripada mundur dengan kepala tegak. Mereka lupa bahwa jabatan itu titipan. Dan ketika saatnya tiba, titipan harus dikembalikan. Tidak ada alasan untuk menahannya lebih lama.
Mundur Sebagai Kemenangan Moral
Mari kita akhiri dengan satu pesan sederhana: mundur bukanlah tanda kalah. Mundur bisa menjadi kemenangan moral—kemenangan atas keserakahan, atas ego, atas kelekatan pada kekuasaan. Joao sudah menunjukkan itu.
Ironisnya, di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai moral, justru sedikit sekali yang mampu mengambil langkah seperti itu. Di negeri ini, mundur sering ditertawakan, seolah-olah hanya orang lemah yang melakukannya. Padahal, justru dalam mundurlah kita bisa menemukan kekuatan paling sejati.
Kursi memang nyaman, tapi terlalu lama duduk di atasnya bisa membuat seseorang lupa berdiri. Joao sudah berdiri, melangkah pergi, dan meninggalkan jejak teladan. Sementara yang lain? Masih asyik menempel, dengan alasan “demi bangsa dan negara”, padahal demi perut dan keluarga.
Hormat, Buat Joao!
Maka mari kita ucapkan hormat untuk Joao. Ia tidak hanya meninggalkan jabatan, ia meninggalkan pesan: bahwa kehormatan seorang pemimpin bukan hanya tentang apa yang dicapainya, tetapi juga tentang bagaimana ia rela melepasnya.
Dan untuk para pejabat yang masih lengket di kursi masing-masing meski sudah kehilangan arah, barangkali inilah saatnya bercermin. Karena ketika Anda menolak mundur padahal sudah gagal, sesungguhnya bukan kursi yang sedang Anda jaga, melainkan ego yang tak terkendali.
Di titik ini, kita rindu lebih banyak “Joao-Joao” lain di negeri ini. Pemimpin yang berani menanggalkan jabatan dengan kepala tegak, bukan dengan kepala tertunduk malu. Pemimpin yang mengerti bahwa meninggalkan kursi bukanlah akhir segalanya, melainkan awal dari kehormatan sejati.
Hormat, buat Joao! Dan satir, buat mereka yang masih berpikir kursi lebih penting daripada harga diri.









