Percakapan Eksistensialis Guru-Guru SD-Ku Dulu

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Pengantar
Entah mengapa, pada hari ini (29 Juli 2025), mulai dari tadi pagi hingga malam, saya tiba-tiba teringat akan sebuah percakapan guru-guru Sekolah Dasar saya dulu di suatu sore hari di halaman sekolah dasar kami. Saya tidak akan menyebut nama-nama diri mereka di sini (karena masih ada yang hidup). Saya hanya akan menyebut dengan sebutan si A, si B, si C, si D, dst. Seingat saya waktu itu ada juga dua atau tiga guru dari sekolah tetangga, yaitu dari SDK Rejeng. Ada juga beberapa orang yang bukan guru yang berasal dari kampung sekitar yang terdekat (Lentang, Lamba, Rejeng, Tango, bahkan Kenggu dan Cireng).

Hanya saja saya lupa apa alasan mereka berkumpul pada saat itu. Mungkin mereka mau berapat dalam rangka persiapan pemberkatan Gereja Ketang tahun 1972. Atau bahkan mungkin lebih dulu dari tahun itu, karena saya masih cukup kecil pada waktu itu, walaupun saya sudah sekolah. Ya sekira tahun 1970 atau 1971. Entah apa momennya. Entah mengapa, sore hari itu saya cepat berhenti dari permainan bersama dengan teman-teman saya, lalu saya berpura-pura mulai ikut berkumpul di dekat para orang tua itu.

Menyimak Pengalaman Kesepian
Entah siapa yang mulai, pokoknya saat itu mereka sedang omong-omong tentang rasa kesepian jika ditinggal mati oleh pasangan hidup. Mula-mula si guru A mengemukakan hasil pengamatannya: Bahwa dalam rumah di Kampung, akan tampak kentara sekali kebingungan dan kesepian seorang suami jika ia ditinggal mati isterinya. Coba bayangkan, begitu ia mendeskripsikan hampir secara detil hal itu. Orang itu akan bangun pagi-pagi. Dan saat itu dia sudah ada di perapian, atau sapo (dalam bahasa Manggarai), suatu rutinitas pagi hari yang biasanya dilakukan sang isteri selama ini. Begitu juga di sore hari atau malam hari. Dia harus duduk di sekitar sapo tentu saja untuk memasak makanan.

Adegan di perapian itu seperti menelanjangi kesepian eksistensial sang suami tadi. Pada saat-saat seperti itu dia pasti tampak bingung, dan tidak tahu mau berbuat apa. Ada juga sedikit rasa malu di sana. Dan untuk dapat memahami detil pengalaman itu, kita harus membayangkan rumah-rumah di Manggarai pada tahun 70an dan 80an. Mungkin di beberapa tempat juga masih seperti itu hingga sekarang ini. Yakni sebuah rumah besar dihuni oleh empat atau lima keluarga. Bahkan mungkin enam atau lebih dari itu. Dan dalam rumah besar itu, ada satu dapur bersama (komunal). Dan di dalam dapur bersama itu, masing-masing keluarga memiliki tungku-nya sendiri. Dalam Bahasa Manggarai disebut likang (yang terbuat dari batu kali dan ditata dalam bentuk tiga batu untuk menjadi penopang priuk saat memasak makanan).

READ  Pius Rengka Raih Gelar Doktor: Membaca Ulang Kepemimpinan Politik di NTT Lewat Lensa Akademik

Biasanya di sekeliling sapo dan likang itulah para ibu akan sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk keluarga mereka masing-masing. Bayangkan. Di sekeliling sapo dan likang yang lain dan pasti berhadapan, ada ibu-ibu yang sibuk, sedangkan di sapo likang yang satu ini ada seorang bapa, karena isterinya baru saja meninggal. Si guru A penutur itu mengatakan, wajah bapa itu memancarkan campuran pelbagai rasa: ada rasa sedih, ada rasa bingung, ada rasa malu, dan tentu saja ada juga rasa kesepian. Untuk pertama kalinya dia sadar bahwa dia sendirian. Ada anak-anak tetapi masih kecil. Para ibu yang lain memandang dengan rasa kasihan. Tentu ada saja yang akan membantu.

Teror Ruang Kosong
Si Guru B, lalu menimpali. Kesepian itu akan semakin terasa saat ia masuk ke kamar (lo’ang). Jika selama ini, kamar itu ditempati bersama dengan sang isterinya, sebagai hae kilo-nya, sekarang ia sendirian saja. Seakan-akan ada sebuah “ruang kosong” di dalam kamar itu. Lalu si Guru C menimpali, mungkin itulah sebabnya banyak suami yang ditinggal mati isteri, cepat sekali mengambil isteri baru lagi. Guru-guru yang lain mengangguk mengiyakan hal itu. Guru D pun menimpali: ya dia cepat ambil isteri baru, bukan terutama untuk mengisi ruang kosong dalam kamar (lo’ang), tetapi juga untuk mengisi ruang kosong di likang dan sapo, di sekitar perapian. Guru E menimpali: jujur saja, saya kira karena kedua ruang kosong itu. Lalu semuanya tertawa terbahak-bahak. Termasuk ayah saya sendiri juga tertawa saat mendengar timpalan si guru E.

READ  Aku Terkenang Flores: Laksamana Tasoku Sato

Lalu tiba-tiba si Guru A membuka lagi sebuah percakapan baru: ya, kita ini omong tentang orang-orang di kampung yang tinggal di rumah-rumah kolektif-komunal. Sepertinya nasib mereka masih lebih baik, karena mereka tinggal di rumah kolektif-komunal itu. Jadi mereka tinggal bersama-sama dengan keluarga-keluarga lain, keluarga besar (extended family). Boleh dikatakan kesepian dan kesunyian itu sedikit terobati karena ada dan kehadiran sesama warga penghuni rumah yang lain.

Sekarang, coba bayangkan kita-kita ini sendiri, yaitu para guru yang tinggal di rumah sendiri, dalam artian hanya satu keluarga saja. Neka denge le poti (semoga dunia seberang sana tidak mendengarnya), kalau isteri kita meninggal, kita betul-betul sendirian di rumah itu. Selama masa duka, mungkin masih ada yang datang menemani. Tetapi sesudah masa berkabung lewat, maka semuanya kembali dalam sunyi dan sepi. Jadi, ya rasanya jauh lebih tragis lagi. Semuanya pun lalu pada terdiam. Seperti membayangkan hal itu. Mereka semua termenung.

Doa Yang Meneguhkan
Dulu pada waktu kecil saya hanya mendengar saja semuanya itu. Dan saya ingat semuanya dan saya menyimpannya dalam hati saya. Setelah saya belajar filsafat dan teologi, percakapan seperti itu saya istilahkan dengan “percakapan eksistensialis”, yang menjadi judul tulisan saya kali ini. Disebut eksistensialis karena omong tentang kematian, tentang kesepian hidup. Itulah tema-tema yang sering dikaji dan digeluti dalam filsafat eksistensialisme. Jadi, para guru SDK saya dulu sebenarnya adalah para filsuf eksistensialis yang memikirkan hal-hal radikal dalam hidup manusia di dunia ini.

Di antara para guru itu yang berkumpul sore hari itu, guru C adalah yang paling religius di antara mereka. Dia tekun dan rajin beribadat. Ya, pokoknya religius dalam artian yang sesungguhnya. Karena itu, dari mulutnya mengalir sebuah nasihat dan pandangan saleh bahwa tidak ada cara lain bagi kita untuk mengobati luka kesepian seperti itu, selain dengan doa. Terutama sekali berdoa rosario dan merenungkan kelima belas misteri hidup Yesus dalam untaian biji-biji rosario. Hal itu amat menenangkan hati. Juga menguatkan hidup (limabelas peristiwa, karena saat itu baru ada tiga lingkaran misteri. Pada awal abad keduapuluh satu baru ada satu misteri baru yang ditetapkan yaitu misteri cahaya).

READ  Rahim di Dalam Mimpi

Tidak ketinggalan si Guru D juga menyumbangkan pengalamannya sendiri: betul sekali kata pak guru C itu. Doa rosario itu sangat manjur untuk membunuh rasa sepi itu, apalagi terutama jika kita merenungkan untaian peristiwa-peristiwa sedih. Rasanya seperti kita tidak sendirian di dalam derita karena sepi dan sunyi itu. Apalagi jika doa rosario itu diselingi dengan lagu-lagu Maria yang versi bahasa Manggarai. Syair-syairnya sangat indah dan menyentuh perasaan hati yang paling dalam. Kita seperti melewati rasa sepi itu bersama Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Misalnya, dan ia pun bernyanyi: “Yo campe ami te lut agama, du susa taung, du mata daat, Maria.” (Ya sudilah membantu kami untuk taat beragama, dalam susa, di kala maut ngeri menimpa, o Maria).

Sekelumit Penutup
Dan tidak terasa sore sudah mulai terasa semakin gelap. Rembang petang datang menjelang. Kami anak-anak pun bubar. Tetapi para guru dan orang-orang tua itu tetap melanjutkan rapat mereka di rumah guru E.

Dari sudut pandang masa kini, saya pun tiba-tiba menyadari bahwa para guru SDK saya itu itu bukan hanya para filsuf eksistensialis, melainkan para filsuf eksistensialis-religius. Sebab para filsuf eksistensialis itu ada yang ateis, dan ada juga yang teis. Yang teis itu banyak yang Kristinai (Katolik dan Protestan). Nah, para guru SD saya itu masuk dalam kategori yang teis, yang religius. Bagi saya mereka itu adalah para filsuf, bukan karena belajar filsafat secara sistematis, melainkan karena menghidupi filsafat itu secara nyata dalam hidup mereka.

Di sini saya tiba-tiba sadar filsafat dan kemampuan berfilsafat bisa ada dan dimiliki semua orang dan kemampuan itu didapati bukan terutama karena belajar secara sistematis disiplin ilmu filsafat itu, melainkan karena berpikir sistematis dalam mencermati pengalaman hidup dan mengungkapkannya dalam rumusan verbal yang jelas dan runtut. Itulah para “filsuf” alami, bukan para filsuf akademis. Biasanya dari sana akan muncul local genius yang bisa melahirkan pikiran-pikiran cemerlang yang menjadi khasanah dalam apa yang disebut perennial philosophy itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *