Aku Terkenang Flores: Laksamana Tasoku Sato


Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Fakultas Filsafat dan Peneliti CHuDS (Centre for Human Development and Social Justice) Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Sebuah Cerbung

Dulu sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, saya rajin membaca cerita bersambung (cerbung) di Mingguan Dian. Karena itu saya menanti datangnya mingguan itu dengan setia walaupun selalu datang terlambat.

Cerita bersambung yang saya baca itu adalah sebuah karya terjemahan dari buku dalam bahasa Inggris yang merupakan hasil karya seorang pengarang Jepang yang bernama Tasoku Sato. Judulnya sangat menarik: Aku Terkenang Flores. (Dalam bahasa Inggris: I Remember Flores; saya penasaran judul aslinya dalam Bahasa Jepang; semoga ada pembaca yang bisa membantu). Buku itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh bapak Tom Wignyata.

Beberapa tahun kemudian, saat saya sudah masuk di Seminari Pius XII Kisol, saya membaca lagi buku itu dalam bentuk sebuah buku (jadi, tidak usah harus menunggu lagi sekian waktu untuk menunggu sambungannya). Hal itu dimungkinkan karena cerbung tadi sudah terbit sebagai sebuah buku utuh oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores (1976; 2005: terbitan cetakan keduanya).

Beberapa Percik Ingatanku

Ada cukup banyak hal yang saya ingat dari hasil pembacaan atas buku itu yang memancing refleksi pemikiran lanjut dalam diri saya. Beberapa di antara percikan ingatan itu akan saya bentangkan di sini untuk para pembaca setia. Pertama, si Pengarang Tasoku Sato sebenarnya tidak lain adalah seorang perwira tinggi dalam Angkatan Laut Jepang, armada Pasifik, khususnya Asia Tenggara (termasuk Nusantara di dalamnya). Sang perwira tinggi ini mendapat tugas untuk memimpin pasukan elit Angkatan Laut Jepang untuk mengawasi Flores. Kok Flores? Ada apa dengan Flores? Mengapa Flores? Oh ya, basis Angkatan laut Jepang di Flores terletak di Ende.

Cukup lama saya merenungkan pertanyaan ini. Saya baru mendapatkan jawabannya tatkala pada tahun 2011 saya membaca buku dari Bapak Ben Mboi (salah satu mantan Gubernur NTT). Di salah satu bagian buku itu, beliau pernah bercerita tentang sikap hati-hati bahkan sikap takut dan hormat orang Jepang akan orang-orang Flores yang dikenal sebagai “pulau Katolik”. Konon sebelum datang ke Flores, inteligen Jepang menyelidiki beberapa informasi tentang pulau itu. Dan mereka mendapat informasi bahwa itu adalah “Pulau Katolik.” Bagi ingatan historis orang Jepang, sebutan “Pulau Katolik” itu rupanya mempunyai arti yang sangat khusus secara politis-ideologis.

Konon keputusan Jepang untuk menempatkan Sato dengan pasukan elit Angkatan Laut di Flores memang dilandasi sebuah laporan intelijen Jepang. Inti laporan itu mengatakan: Orang Flores itu menganut agama Katolik dan karena itu mereka dianggap sangat berbahaya. Setelah mendapat informasi itu, maka petinggi Jepang pun bersikap sangat hati-hati terhadap pulau katolik itu. Ada apa dengan pulau kecil itu yang bahkan oleh Tasoku Sato dikira terletak di tengah kawasan Pasifik Selatan sana? Ternyata simpulan atau laporan itu dilatar-belakangi Sejarah bangsa Jepang itu sendiri di masa silam. Itulah hal kedua yang ingin saya bahas lebih lanjut di sini.

READ  Rahim di Dalam Mimpi

Shusaku Endo: Silence

Ya, hal itu erat terkait dengan sejarah Jepang sendiri yang pernah mengalami sebuah pergulatan historis-teologis yang tidak ringan dengan pihak gereja Katolik yang pada saat itu sudah datang ke Jepang dan ternyata sikap pemerintahannya menolak agama “penjajah” itu (sebab dibawa atau datang bersama dengan Portugis). Orang-orang Jepang berusaha mempertahankan agama Buddhisme (varian Zen) yang sudah mengalami proses asimilasi (akulturasi) ke dalam Shintoisme (agama asli Jepang sendiri). Cukup lama sikap politik penguasa Jepang itu melarang para misionaris katolik untuk masuk ke sana. Tetapi perjuangan misionaris terdahulu rupanya sudah berurat-berakar di sana sehingga terbentuklah sekelompok kawanan jemaat yang hidup “di bawah tanah.”

Walaupun kawanan jemaat itu tanpa gembala (imam), dan juga tanpa struktur gereja atau paroki yang kuat melembaga, tetapi umat Katolik itu bisa hidup terus dan tetap setia dalam iman mereka yang mereka alami dan rasakan menawarkan sebuah pembebasan Rohani jika dibandingkan dengan apa yang mereka alami dan rasakan di dalam agama mereka yang lama. Ya, tidak main-main: kawanan domba tanpa gemala itu bisa bertahan selama dua abad. Buku Sejarah gereja yang menyinggung bagian Asia pasti juga berbicara tentang episode Sejarah itu. Ternyata senjata mereka untuk bertahan hidup “di bawah tanah” (klandestine) hanyalah praksis devosi doa rosario dan pelbagai praksis kesalehan katolik lainnya.

Semua informasi ini dapat kita baca dalam sebuah novel Sejarah dari seorang pengarang yang bernama Shusaku Endo (sastrawan Jepang pada awal abad keduapuluh silam). Judul novelnya ialah Silence (Hening) (Kompas Gramedia, Jakarta: 2017). Tentu saja buku itu aslinya ditulis dalam Bahasa Jepang. Dan kita bersyukur bahwa buku Bahasa Jepang itu diterjemahkan dengan sangat baik ke dalam Bahasa Inggris oleh seorang imam Yesuit, Pater William Johnston, yang ahli dalam bidang teologi mistik khususnya dalam tradisi perjumpaan antara Timur dan Barat). Syukur kepada Allah, buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia (oleh Tanti Lesmana) pada tahun 2008 dan sudah mengalami cetak ulang yang ketiga pada tahun 2017). Novel ini pun sudah difilmkan dan bisa kita telusuri dalam netflix (dengan judul yang sama, Silence). Sebuah film yang indah.

READ  Percakapan Eksistensialis Guru-Guru SD-Ku Dulu

Dari deskripsi novel ini kita pun akhirnya tahu bahwa sekeras apa pun represi dan opresi yang dibuat oleh pemerintah Jepang terhadap gereja dan iman Katolik, ternyata iman itu tidak mati. Padahal salah satu petinggi Jepang saat itu pernah bersumpah di hadapan salah seorang misionaris Portugis (Yesuit) bahwa agama Katolik tidak akan bisa bertumbuh dan berurat berakar di Jepang karena seluruh Jepang ia ibaratkan sudah digenangi oleh rawa-rawa Buddhisme. Apa pun yang datang dari luar akan mengambang saja di permukaan dan tidak bisa mengakar. Pasti lama kelamaan ia akan mati. Petinggi itu lupa bahwa Buddhisme sendiripun pun adalah sebuah agama yang datang dari luar sebenarnya (dari India, tentu melalui China). Dan semua drama historis itu terjadi pada akhir abad keenambelas. Dan baru bisa mendapatkan kebebasan lagi pada abad kedelapanbelas.

Jadi, dua abad umat katolik Jepang itu bertahan tanpa struktur gereja, juga tanpa imam, dan tanpa perayaan ekaristi; mereka hanya hidup dari devosi. Betapa luar biasanya devosi itu. Mungkin itulah sebabnya seorang teolog Amerika berdarah Vietnam, Peter C.Phan, menaruh perhatian yang sangat kuat dan mendalam terhadap praktik devosi itu (yang dalam dokumen Sacrosanctum Concilium (1963), disebut pia exertia. Phan menaruh perhatian seperti itu karena mengamati hal yang sama di Vietnam). Orang-orang Katolik itu tidak hanya bertahan saja, melainkan pada abad keenambelas itu mereka pernah memberontak dan pemberontakan itu menjadi sebuah bencana besar bagi kekaisaran. Tatkala teringat akan pengalaman itu, mereka tidak mau main-main lagi dengan orang Katolik, di manapun mereka berada, tentu saja termasuk di Flores. Luar biasa sekali.

Jangan Main-main dengan Orang Katolik

Menyadari latar belakang historis yang keras seperti itu akan fakta gereja dan iman Katolik dalam Sejarah masa silam mereka sendiri, dan ini hal ketiga yang ingin saya kemukakan di sini, maka para petinggi militer Jepang di Asia Tenggara khususnya di Kawasan Pasifik, menerapkan sikap yang sangat berhati-hati terhadap pulau Katolik itu. Jangan sampai ada perlawanan yang tidak terduga-duga dan jika hal itu terjadi, Sejarah Jepang sendiri sudah membuktikan bahwa iman orang Katolik itu tidak bisa dimatikan juga dengan kekerasan dan pemaksaan lewat kemartiran sekalipun. Benar kata Tertullianus dulu (pada abad ketiga): Sanguis Martorum Semen Christianorum (Darah Para Martir adalah Benih Orang-orang Kristiani). Saya menduga bahwa tatkala Laksamana Tasoku Sato diberi tugas untuk memimpin angkatan laut Jepang di Flores, ia sudah dibekali dan diberitahu tentang informasi dan latar belakang historis seperti itu. Boleh jadi juga, ia pun bersiap-siap dan bersikap dengan sangat hati-hati.

READ  Dari Buraen Kami Belajar Tumbuh

Tetapi apa yang dialami Tasoku Sato di lapangan, ternyata bukanlah sesuatu yang mengerikan. Bahkan Ben Mboi mencatat dalam buku tadi, bahwa setelah Tasoku Sato tiba di Flores, ia menyimpulkan bahwa laporan intelijen itu keliru. (Ben Mboi menambahkan catatan: mungkin kalau tidak ada fokus pasukan khusus di Flores, mungkin saja gerakan armada Nippon ke Amerika bisa jadi lebih efektif dan efisien juga dan ceritanya bakal menjadi lain). (Kompas-Gramedia, Jakarta: 2011).

Mengapa Tasoku Sato sampai pada kesimpulan seperti itu? Sebab ternyata orang-orang Flores yang mula-mula ia jumpai itu sangatlah ramah. Betul bahwa mereka itu orang Katolik dan hidup saleh juga sebagai orang Katolik. Mereka juga, sebagai orang Katolik, sangat menghormati para pastor, bahkan juga termasuk para pastor Jepang yang memang juga didatangkan secara khusus oleh Jepang ke sana. (Kalau tidak salah ada juga uskup Jepang yang didatangkan untuk menggantikan uskup Belanda dan yang ditawan; hanya saya tidak begitu tahu lagi namanya). Bahkan Laksamana Tasoku Sato terheran-heran melihat kenyataan bahwa orang Flores sangat menghormati para imam, juga para imam Katolik dari Jepang, yang dihormati oleh orang-orang Flores melebihi para petinggi militernya.

Semuanya ini sangat berkesan bagi Tasoku Sato. Tatkala perang Pasifik itu sudah selesai, ini masih merupakan informasi dari buku tadi, Tasoku Sato pulang ke Jepang. Dan sesampainya di Jepang, berbeda dengan tokoh Inoeu (dalam novel Silence di atas tadi), yang menjadi algojo yang sangat kejam terhadap orang-orang Katolik di Jepang masa itu, yang sama sekali tidak tersentuh dan tergugah hatinya oleh kesaksian para martir Jepang itu, Tasoku Sato pun menjadi Katolik yang saleh dan taat. Dan inilah hal keempat yang ingin saya kemukakan di sini. Sebuah perjumpaan yang berdaya ubah: pengalaman perjumpaan sang Laksamana Jepang dengan orang-orang Katolik Flores, telah mengubah iman sang Laksamana dari iman yang sebelumnya, lalu “terseret” masuk ke dalam lautan spiritualitas iman Katolik. Luar biasa sekali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *