Berita  

Pertemuan Mahasiswa: Api Rendra yang Tak Pernah Padam

Oleh: Marselus Natar

“Burung Merak” yang Melawan

W. S. Rendra, lahir dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra pada 7 November 1935 di Solo, adalah salah satu penyair terbesar Indonesia. Julukan “Burung Merak” dilekatkan kepadanya karena gaya pembacaan puisinya yang teatrikal, penuh energi, dan memikat. Ia tidak hanya penyair, tetapi juga dramawan, esais, sekaligus intelektual publik yang berani melawan arus, menegur penguasa, dan berpihak pada rakyat kecil.

Sejak dekade 1960-an, karya-karya Rendra sering menjadi penanda zaman. Ia tidak pernah menulis sekadar untuk keindahan bahasa, melainkan menjadikan puisi dan drama sebagai alat perjuangan sosial. Karena sikap kritisnya, ia berkali-kali berhadapan dengan represi negara, baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru. Rendra wafat pada 6 Agustus 2009, namun warisan moral dan estetikanya tetap hidup. Salah satu puisinya yang paling abadi ialah Pertemuan Mahasiswa. Karya ini menggambarkan peran mahasiswa sebagai penentu arah sejarah, yang tidak boleh diam di tengah ketidakadilan.

Suara Nurani dalam Pertemuan

Di awal puisinya, Rendra menegaskan:
“Kami berkumpul di sini bukan karena kami pandai. Tetapi karena kami ingin setia pada nurani. Kami datang bukan untuk menuntut gelar, melainkan untuk mendengarkan jeritan rakyat kecil.”

Inilah inti pertemuan mahasiswa: sebuah panggilan nurani. Kampus, bagi Rendra, bukan menara gading yang terpisah dari realitas. Mahasiswa bukan sekadar mengejar gelar dan ijazah. Ada beban moral yang melekat pada mereka: menyuarakan penderitaan rakyat.

Di bagian lain, Rendra menegaskan:
“Bila kami diam, kami mengkhianati rakyat. Bila kami bungkam, kami mengkhianati masa depan. Maka suara kami adalah amanat penderitaan rakyat yang tidak boleh dibungkam oleh siapa pun.”

READ  Pejabat Berfoya, Rakyat Berdoa

Diam berarti berkhianat. Itulah seruan keras Rendra. Ia mengingatkan bahwa mahasiswa tidak boleh bersembunyi di balik kenyamanan intelektual. Mereka harus berani mengambil risiko.

Menyapa Indonesia Hari Ini

Jika kita kaitkan dengan konteks Indonesia saat ini, puisi Pertemuan Mahasiswa masih terasa begitu aktual. Situasi sosial-politik kita diwarnai dengan isu korupsi, pelemahan lembaga hukum, penyempitan ruang demokrasi, ketimpangan ekonomi, hingga kerusakan lingkungan. Dalam konteks seperti itu, suara mahasiswa tetap relevan sebagai penjaga dan pengontrol moral bangsa.

Kita masih menyaksikan demonstrasi mahasiswa di jalan-jalan: menuntut pengesahan rancangan undang-undang perampasan aset, menolak rancangan undang-undang yang dianggap melemahkan demokrasi, menuntut keadilan bagi korban pelanggaran HAM, hingga mengkritik kebijakan yang merugikan rakyat kecil. Semua itu adalah bentuk nyata dari apa yang ditulis Rendra: “kita tidak mau dibohongi, kita tidak mau diperlakukan tidak adil.”

Namun, ada pula tantangan baru: era digital menghadirkan disrupsi dalam gerakan mahasiswa. Kritik tidak hanya berlangsung di jalanan, tetapi juga di media sosial. Di satu sisi, ini memperluas jangkauan; di sisi lain, ia bisa terjebak dalam euforia trending topic yang cepat padam. Rendra seakan mengingatkan bahwa perjuangan sejati tidak boleh berhenti pada slogan, melainkan harus diwujudkan dalam komitmen panjang menegakkan keadilan.

Puisi Pertemuan Mahasiswa adalah saksi sejarah yang tetap hidup. Dari masa Orde Baru hingga Indonesia hari ini, suara Rendra terus relevan: mahasiswa dipanggil bukan untuk sekadar belajar demi diri sendiri, melainkan untuk berdiri bersama rakyat.

Dengan demikian, puisi ini bukan hanya karya sastra, tetapi juga semacam manifesto moral. Ia mengajarkan bahwa setiap generasi mahasiswa memiliki kewajiban historis: menjaga agar keadilan tidak roboh, agar demokrasi tidak dipreteli, dan agar kebenaran tidak dikubur oleh kebohongan. Suara Rendra dalam Pertemuan Mahasiswa adalah gema yang terus menembus waktu—dan hari ini, gema itu menunggu untuk dijawab.

READ  62 Tahun PMKRI Kupang Mengukir Kiprah Kader di Daerah dan Nasional

Pertemuan Bukan Pesta Kata-kata

Salah satu bagian paling tajam dalam puisi Pertemuan Mahasiswa adalah ketika Rendra menegaskan: “Pertemuan ini adalah tekad, Bukan pesta kata-kata. Pertemuan ini adalah perjanjian, Bukan sekadar acara.”

Bait ini sangat penting untuk ditekankan dalam konteks gerakan mahasiswa saat ini. Rendra mengingatkan bahwa pertemuan mahasiswa tidak boleh sekadar menjadi forum penuh jargon, retorika, atau pidato indah yang berhenti di ruang rapat.
Pertemuan bukanlah panggung untuk menunjukkan siapa paling pintar berorasi, siapa paling lantang menyusun diksi, atau siapa paling canggih berargumentasi.

“Bukan pesta kata-kata” berarti pertemuan mahasiswa harus berujung pada tindakan nyata. Kata-kata memang penting untuk membakar semangat, tetapi tanpa aksi, kata hanya menjadi gema yang memudar. Inilah teguran yang relevan untuk mahasiswa masa kini, di mana gerakan sering terjebak dalam euforia diskusi, webinar, atau seminar tanpa tindak lanjut yang jelas.

“Pertemuan ini adalah perjanjian” menunjukkan makna yang lebih dalam: bahwa setiap pertemuan mahasiswa adalah kontrak moral antar generasi muda untuk tetap berpihak pada rakyat. Ada janji yang tidak tertulis tetapi sakral: janji untuk menjaga idealisme, janji untuk melawan penindasan, janji untuk tidak berkhianat pada penderitaan rakyat.

Dalam konteks Indonesia kini, bait ini bisa dibaca sebagai kritik terhadap kecenderungan sebagian gerakan mahasiswa yang kehilangan arah, mudah terkooptasi kepentingan politik praktis, atau hanya hadir saat momentum besar. Rendra menuntut agar setiap pertemuan mahasiswa—sekecil apa pun, entah itu diskusi kamar kos, rapat organisasi, atau aksi massa—ditempatkan dalam kerangka sejarah yang lebih besar.

READ  Menagih Kepastian Fit and Proper Test Bank NTT: Antara Tata Kelola dan Kepercayaan Publik

Artinya, mahasiswa dituntut untuk menjaga konsistensi perjuangan. Tekad yang lahir dalam pertemuan harus diwujudkan dalam langkah konkret: advokasi, penelitian sosial, kerja-kerja pengabdian, hingga gerakan politik yang berintegritas. Tanpa itu, pertemuan hanya akan menjadi “pesta kata-kata” yang hampa.

Api yang Terus Menyala

Pertemuan Mahasiswa bukan sekadar karya sastra. Ia adalah manifesto moral. Rendra menulisnya dalam era represi, tetapi pesannya lintas zaman. Hari ini, ketika rakyat sering kecewa pada elite politik, mahasiswa tetap memikul tanggung jawab besar. Mereka memang bukan malaikat, mereka pun bisa salah. Namun, ketika suara rakyat teredam, mahasiswa adalah harapan terakhir. Pertemuan mereka—entah di ruang kuliah, sekretariat, atau jalanan—selalu punya potensi mengguncang bangsa. Dari situlah lahir keberanian, dari situlah api perlawanan menyala.

Dan selama mahasiswa masih berani bersuara, api Rendra tidak akan padam. Ia akan terus membakar kesadaran, bahwa demokrasi tanpa kritik hanya ilusi, dan keadilan tanpa keberanian hanyalah mimpi kosong. Karena meski zaman berubah, situasi ketidakadilan bertransformasi, suara pertanyaan, kritik, dan keberpihakan moral tetap dibutuhkan dan tetap hidup.

Puisi Pertemuan Mahasiswa menunjukkan bahwa mempertanyakan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan; bahwa keberpihakan bukanlah sekadar memilih pihak, melainkan membela keadilan di mana pun keadilan itu tergadai.

Sebagai mahasiswa, atau sebagai bagian dari masyarakat, kita diajak untuk menjaga agar api itu tetap menyala—melalui belajar, berpikir, bertindak. Agar maksud baik kita bukan hanya kata, tetapi tindakan yang nyata. Agar pertanyaan-pertanyaan kita tak pernah mereda—demi keadilan yang tak hanya terucap tetapi juga terlaksana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *