UKSW  

Willyan Sahetapy dan Suara Ketahanan Para Mama Papua

Willyan Sahetapy sedang mempresentasikan proposal penelitiannya. (Foto: Dok. Studi pembangunan UKSW)

Salatiga, detakpasifik.com- Di ruang kecil G502, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), awal Oktober lalu, udara sore yang hangat bercampur tegang. Di hadapan para penguji, Willyan Sahetapy, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bukit Zaitun Sorong, berdiri teguh mempertahankan ujian kualifikasi disertasinya. Bukan sekadar ujian akademik, tetapi perjuangan untuk menghadirkan suara yang lama tenggelam, suara Mama-Mama Papua, perempuan tangguh penjaga nadi ekonomi rakyat kecil di Sorong.

Dua pekan berselang, 20 Oktober 2025, langkah itu berlanjut di ruang G505 yang hanya terpaut satu lantai dari ujian sebelumnya. Wartawan detakpasifik.com Pius Rengka melaporkan, Willyan kembali menorehkan capaian akademik. Ia lulus sempurna dalam ujian proposal disertasi berjudul “Mama-Mama Papua, Benteng Ekonomi Keluarga: Kajian Ketahanan Ekonomi Mama-Mama Papua di Sektor Informal di Kota Sorong.”

Di bawah bimbingan Prof. Daniel Kameo, Ph.D. dan Titi Susilowati Prabawa, Ph.D., serta diuji oleh Prof. Dr. Intiyas Utami dan Prof. Dr. Lieli Suharti, Willyan mempertahankan argumentasi ilmiahnya dengan ketenangan khas seorang peneliti yang sudah lama hidup di antara realitas yang ia tulis.

Pasar sebagai Jantung Kehidupan

Bagi kebanyakan orang, pasar adalah ruang jual beli, tempat pertemuan antara penjual dan pembeli. Tetapi, bagi Mama-Mama Papua, pasar adalah jantung kehidupan. Di sanalah mereka menata sayur, umbi, buah hutan, dan pinang sejak pukul empat pagi, dengan tangan yang telah lelah oleh kerja, tapi tak pernah menyerah.

Di pasar, mereka tidak hanya menukar barang dengan uang. Mereka bertukar cerita, meneguhkan solidaritas, dan merawat marwah keluarga. “Pasar bagi mereka bukan sekadar tempat transaksi, tetapi ruang sosial untuk saling menopang dan berbagi kehidupan,” ujar Willyan dalam ujian proposalnya.

Mereka adalah perempuan yang dalam diamnya memikul ekonomi keluarga dan komunitas. Prinsip mereka sederhana namun sangat mendalam: “Semua harus makan, bukan semua harus kaya.”

READ  Guru Bahasa Indonesia Kok Guru BK-Ku?

Namun di balik kesahajaan itu, badai datang dari segala arah. Modal kecil, akses terbatas ke perbankan, literasi keuangan rendah, dan infrastruktur pasar yang tak memadai menjadi tantangan sehari-hari. Dari luar, mereka menghadapi diskriminasi sosial dan tekanan budaya patriarki yang kuat.

Tetapi, alih-alih menyerah, Mama-Mama Papua menempuh jalan lain. Mereka melawan dengan cara bertahan. “Resistance as resilience,” kata Willyan, mengutip konsep yang menjadi inti disertasinya. Ketahanan para Mama justru tumbuh dari penolakan terhadap sistem ekonomi modern yang kerap meniadakan nilai-nilai komunal.

Mereka memilih menjaga jarak dari negara, bukan karena benci, tetapi karena sadar bahwa dalam jarak itu mereka menemukan ruang untuk merawat harga diri dan otonomi. “Ketahanan Mama Papua bukan hasil intervensi kebijakan,” ujar Willyan, “melainkan buah dari kemandirian sosial yang tumbuh dari akar budaya”.

Ungkapan yang sering terdengar di kalangan mereka berbunyi, “Kami tidak butuh payungmu, karena kami punya atap sendiri.” Kalimat sederhana yang sesungguhnya adalah manifesto kemerdekaan tentang kepercayaan diri, tentang solidaritas, tentang ekonomi yang berakar pada nilai gotong royong.

Data dan Denyut Kehidupan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Sorong mencatat peningkatan jumlah Mama-Mama Papua yang aktif berdagang di sektor informal dari 326 orang pada 2023 menjadi 386 orang pada 2024, atau meningkat sekitar 18 persen. Angka itu kecil di atas kertas, tetapi besar dalam makna sosial.

Mereka adalah tulang punggung ekonomi yang sering tak disebut dalam laporan pembangunan. Dengan modal seadanya, mereka tetap berdagang meskipun keuntungan tipis. Banyak yang berkali-kali memulai ulang usahanya setelah gagal. Namun, semangat mereka tak pernah padam.

Strategi ekonomi mereka masih bergantung pada hasil bumi, dengan sedikit diversifikasi komoditas. Tetapi, dalam keterbatasan itu tersimpan nilai bahwa usaha mereka bukan untuk akumulasi, melainkan untuk flow yaitu untuk mengalir bersama hidup, untuk cukup hari ini, untuk tidak lapar besok.

READ  Menjaga Marwah Ekonomi Para Mama Papua di Sorong

Sebagian besar dari mereka tidak mengenal sistem kredit bank atau investasi digital. Tetapi, mereka punya modal sosial yang tak ternilai yaitu jaringan tolong-menolong, rasa malu bila tak berbagi, dan ikatan kekerabatan yang menjadi benteng terakhir saat modal finansial habis.

Pantulan dari Dunia Selatan

Dalam paparannya, Willyan Sahetapy menghubungkan kisah Mama Papua dengan fenomena perempuan pedagang di Afrika dan Pasifik. Ia mengutip penelitian Peprah, Ocloo, dan kolega (2023) dari Ghana yang menemukan bahwa aktivitas ekonomi perempuan di sektor informal meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, partisipasi sosial, dan peran dalam keputusan keluarga.
“Mereka menjual bukan sekadar untuk hidup, tetapi untuk merawat bangsa,” tulis para peneliti itu. Ungkapan yang terasa akrab bagi siapa pun yang pernah melihat Mama Papua menata ubi di atas tikar lusuh sambil tersenyum pada pembeli yang datang.

Di Afrika, mereka disebut market women, di Pasifik dikenal sebagai mothers of the land, dan di Papua mereka adalah Mama-Mama penjaga keseimbangan antara tradisi dan perubahan. Mereka menolak menjadi korban modernisasi yang seragam. Mereka menegaskan bahwa ekonomi sejati bukan sekadar tentang angka pertumbuhan, melainkan tentang keberlanjutan kehidupan.

Bagi Willyan, disertasi ini bukan sekadar proyek akademik. Ia adalah panggilan etis untuk menata ulang cara pandang terhadap pembangunan dan pemberdayaan di Indonesia Timur. “Pemberdayaan sejati harus lahir dari bawah, dari suara yang selama ini tak dianggap,” ujarnya seusai sidang proposal.

Ia menyadari, dalam ruang akademik yang sering kering oleh teori dan data, riset tentang Mama-Mama Papua mengembalikan kemanusiaan pada studi pembangunan. Di balik istilah ketahanan ekonomi ada peluh, air mata, dan tawa perempuan yang menjadikan pasar sebagai ruang hidup.

READ  Silvino Cabral Lolos Ujian Kualifikasi: Menyoal Kemiskinan Petani Kopi Ermera

Willyan sendiri telah lama mengamati kehidupan mereka bukan dari balik meja, tetapi dari lorong-lorong pasar di Sorong. Ia melihat bagaimana perempuan Papua memikul beban ekonomi sekaligus beban sosial dengan tabah. Ia mendengar bagaimana mereka bercanda sambil menata dagangan, menyembunyikan letih di balik tawa, dan terus berharap meski harga sayur turun.

Ekonomi yang Bernapas

Apa yang dilakukan Mama-Mama Papua sesungguhnya adalah pengingat bahwa ekonomi sejati punya wajah dan hati. Di tengah arus kapitalisme yang dingin, mereka menunjukkan bentuk ekonomi yang bernapas ekonomi yang berdenyut bersama manusia. Mereka menolak menjadi objek statistik, karena mereka adalah subjek kehidupan itu sendiri.

Di Mali, Nigeria, dan Ghana, perempuan pedagang tradisional terbukti paling tahan terhadap krisis global. Ketika bank runtuh dan korporasi besar gulung tikar, pasar-pasar lokal tetap berdetak berkat tangan-tangan perempuan yang tidak mengenal kata menyerah. Hal serupa hidup di tanah Papua. “Mereka tidak menunggu proyek, karena mereka sudah hidup di dalam proyek kehidupan itu sendiri,” tutur Willyan dengan lirih namun penuh keyakinan.

Kini, setelah lulus sempurna dalam ujian proposal, Willyan bersiap menuju lapangan untuk fase penelitian mendalam. Dari pasar-pasar kecil di Sorong, dari tangan-tangan Mama yang keras oleh kerja dan lembut oleh kasih, ia ingin mendengar lebih banyak cerita tentang ketahanan, solidaritas, dan cinta yang membumi.

Ketika disertasinya nanti rampung, mungkin dunia akademik akan mencatatnya sebagai penelitian tentang ekonomi informal. Tapi bagi Willyan, dan bagi siapa pun yang mendengarkan dengan hati, riset itu adalah kisah tentang peradaban yaitu tentang perempuan yang menjaga kehidupan tetap berjalan di tengah badai. Dari tanah Sorong yang jauh, gema itu sampai ke Salatiga: bahwa di tangan Mama-Mama Papua, ekonomi tidak hanya hidup, tetapi juga tetap manusiawi. (pr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *