Salatiga, detakpasifik.com- Sore itu, langit Salatiga bergelayut tenang. Di halaman kampus yang rimbun, mahasiswa lintas suku dan bahasa berlalu-lalang membawa semangat yang sama yaitu semangat untuk belajar dan berbagi. Di balik udara yang sejuk dan pepohonan yang teduh, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) kembali menorehkan bab kecil namun berarti dalam sejarah pendidikan kebudayaan Indonesia.
Wartawan detakpasifik.com Pius Rengka melaporkan dua pekan silam, tepatnya Jumat (26/09/2025), Balairung UKSW menjadi saksi lahirnya peristiwa bersejarah Dialog Budaya dan Nusantara Academic: Writing Award 2024. Untuk pertama kalinya, kampus yang dikenal sebagai Kampus Indonesia Mini itu dipercaya menjadi tuan rumah kegiatan berskala nasional yang mempertemukan riset, tradisi, dan kebhinekaan dalam satu ruang perjumpaan ilmiah.
Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi Nusantara Institute, Bakti BCA, Bakti Pendidikan Djarum Foundation, dan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UKSW.
Balairung UKSW sore itu bukan sekadar aula, melainkan ruang di mana nalar dan budaya bersalaman, tempat di mana kata dan makna berpadu menjadi perayaan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
Sebagai kampus multikultural yang berdiri di salah satu kota tertua di Indonesia, UKSW telah lama menjadi rumah bagi keberagaman. Di sinilah mahasiswa dari Aceh hingga Papua menulis babak baru tentang kebersamaan dalam perbedaan.
“UKSW hadir di Kota Salatiga untuk menyatukan perbedaan yang memperkaya kenusantaraan,” ujar Rektor UKSW, Profesor Intiyas Utami, dalam sambutan yang hangat. Mantan staf khusus Gubernur NTT periode 2018-2023 itu menegaskan, pendidikan di UKSW berakar pada filosofi Imago Dei yaitu keyakinan bahwa setiap manusia adalah citra ilahi yang layak dihormati dan dirayakan.
Momentum ini, katanya, bukan hanya kehormatan bagi kampus, melainkan juga bentuk komitmen untuk terus membumikan nilai-nilai kemanusiaan dan memperkuat jembatan antara ilmu dan budaya.
Apresiasi Akademik
Acara yang berlangsung meriah itu dihadiri oleh sejumlah tokoh penting di Jawa Tengah, Kepala LLDIKTI Wilayah VI, Profesor Dr. Ir. Aisyah Endah Palupi, M.Pd., Founder dan Director Nusantara Institute, Dr. Sumanto Al Qurtuby, Deputy Director Bakti Pendidikan Djarum Foundation, Felicia Hanitio, EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn, serta Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Adipati Surakarta beserta keluarga.
Profesor Aisyah dalam sambutannya menyampaikan apresiasi yang sangat tinggi kepada UKSW sebagai kampus pertama yang menjadi tuan rumah acara akademik budaya tingkat nasional ini. “Ajang ini bukan hanya bentuk penghargaan, tetapi juga ruang untuk merayakan hasil pemikiran dan karya budaya anak bangsa,” katanya. Ia menegaskan, kegiatan ini selaras dengan visi peningkatan mutu akademik di bidang kemanusiaan, seni, dan pendidikan, serta menjadi sarana mengenalkan Indonesia ke kancah internasional.
Mengapa UKSW Dipilih
Mengapa UKSW? Pertanyaan itu dijawab langsung oleh Dr. Sumanto Al Qurtuby, sosiolog dan pendiri Nusantara Institute.
“UKSW memiliki sejarah panjang, keanekaragaman budaya yang hidup, dan semangat akademik yang terbuka. Kampus ini adalah miniatur Indonesia yang sesungguhnya,” ujarnya.
Sumanto menambahkan, program Writing Award harus terus diglobalkan agar mampu menginspirasi masyarakat luas. Program yang telah berjalan sejak 2019 ini dirancang untuk mempercepat proses penulisan tesis dan disertasi mahasiswa magister dan doktor di Indonesia. Setiap tahun, 170 hingga 200 pelamar dari berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri mengikuti seleksi yang ketat.
“Tahun ini, tujuh karya terbaik dipilih melalui seleksi dan wawancara oleh dewan juri yang terdiri dari akademisi dan praktisi terkemuka,” jelasnya.
Merayakan Karya, Meneguhkan Ilmu
Para penerima penghargaan tahun ini berasal dari berbagai kampus di Indonesia, dengan tema penelitian yang mencerminkan kekayaan budaya dan spiritual bangsa. Mereka itu masing-masing adalah Rifqi Nurdiansyah (Universitas Islam Internasional Indonesia) yang menulis tema Islamic Hybridity and Meaning-Making of Islam in Indonesia: Islam Langkah Lama of the Talang Mamak Tribe.
Kurnia (Universitas Gadjah Mada) menulis The Agency of Kaluppini Women in Indigenous Natural Resource Management in Sulawesi, Indonesia, Martinus Ngabalin (UKSW) mencermati Ritus Tombor Maghi: Liminalitas Hubungan Antaragama Islam-Kristen di Kabupaten Fakfak, Papua.
Suaidi (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) meneliti Transaksi Ekonomi dalam Tradisi Tompangan Masyarakat Sumenep Madura: Relasi Kekuasaan Antaraktor dan Tradisi Diskursif Syariah. Fina Mazida Husna (UIN Walisongo Semarang) meneliti Pembacaan Ulang Maulid Al-Dziba’i sebagai Karya Sastra Arab Populer di Indonesia. Siti Rohwati (UIN) dengan tema Islam dan Budaya Lokal: Studi Tradisi Puasa Adat Masyarakat Musim Samin Blora. Dan, Novi Diah Haryanti (Universitas Indonesia) meneliti dengan topik Di Antara Tradisi dan Modernitas: Strategi Negosiasi Tokoh Perempuan terhadap Habitus di Pesantren dalam Empat Novel Karya Perempuan Penulis Pesantren. Setiap karya adalah buah dari perjalanan intelektual yang panjang dan perenungan mendalam tentang kebudayaan Indonesia.
Dampak Sosial
Rektor Intiyas menegaskan bahwa kegiatan ini juga menjadi bagian dari dukungan UKSW terhadap program Diktisaintek Berdampak yaitu gerakan nasional Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Dalam program kepemimpinannya yang bertajuk PROUD (Progressive and Outstanding), UKSW berkomitmen untuk menghadirkan pendidikan yang berdampak nyata bagi masyarakat.
Sejak berdiri pada tahun 1956, UKSW telah menjelma menjadi rumah bagi 15 fakultas dan 64 program studi, dari D3 hingga S3, dengan 34 prodi berakreditasi unggul dan A. Kampus ini dikenal sebagai ruang di mana perbedaan bukan hambatan, melainkan sumber kekuatan untuk mencipta. Sebagai kampus yang dijuluki Creative Minority, UKSW terus menegaskan dirinya sebagai agen perubahan dan inspirasi di tengah dunia pendidikan nasional.
Apa yang kini dialami UKSW merupakan pengalaman yang meluas di berbagai belahan di Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah universitas di Asia Tenggara dan Asia Timur aktif menyelenggarakan forum budaya, festival sastra, dan penghargaan akademik yang memadukan penelitian, seni, dan dialog lintas-agama/lintas budaya, yang menjadi tanda bahwa ruang kampus semakin berperan sebagai arena publik untuk menjaga, merevitalisasi, serta memperkenalkan warisan budaya ke audiens yang lebih luas.
Contoh-contoh nyata, misalnya, Ateneo (Filipina) menggelar festival sastra dan budaya; Universitas Indonesia menjadi tuan rumah forum budaya ASEAN+3; Ateneo de Davao bekerja sama dengan lembaga dialog internasional menyelenggarakan pertemuan regional; Chulalongkorn (Thailand) rutin mengadakan program pelestarian seni tradisi; dan NUS (Singapura) memayungi penghargaan yang mengakui kreasi seni dan kontribusi budaya civitasnya.
Ateneo menyelenggarakan festival sastra dan budaya yang mengumpulkan penulis, penerbit, dan pelaku budaya, kegiatan ini memadukan diskusi akademik, pembacaan karya, dan pertunjukan seni, menunjukkan bagaimana universitas menjadi ruang publik untuk produksi dan dialog budaya.
Universitas Indonesia pernah menjadi tuan rumah forum budaya tingkat ASEAN+3 yang menghadirkan delegasi mahasiswa dari banyak negara, dengan rangkaian pameran, pertunjukan, dan diskusi yang menempatkan kampus sebagai penghubung antarbudaya region.
Dialog antaragama dan antar-kota untuk kawasan ASEAN pernah diadakan bekerja sama antara organisasi internasional KAICIID dan Ateneo de Davao, memperlihatkan peran universitas sebagai tuan rumah bagi inisiatif dialog lintas-kepercayaan di tingkat regional. Chulalongkorn University-Indofest/program pelestarian budaya aktif menyelenggarakan festival dan program yang mempromosikan seni pertunjukan dan pelestarian warisan budaya (mis. Indofest), yang menegaskan peran universitas sebagai pusat diplomasi budaya dan pelestarian tradisi. National University of Singapore (NUS), Penghargaan dan perayaan prestasi seni mahasiswa NUS punya program penghargaan kampus (NUS Achievement Awards) yang memasukkan kategori seni dan kontribusi kebudayaan—ini memperlihatkan orientasi institusi tinggi terhadap pengakuan kreativitas civitas akademika selain prestasi riset.
“UKSW bukanlah satu-satunya kampus yang menanggapi panggilan kebudayaan zaman. Di Manila, Ateneo melahirkan festival sastra yang merangkum pertemuan penulis, penerbit, dan mahasiswa dalam satu napas kreatif; di Depok, Universitas Indonesia membuka gerbang bagi forum budaya ASEAN+3 yang menghimpun delegasi regional; bahkan di Bangkok dan Singapore, universitas-universitas terkemuka kerap menjadi panggung pelestarian tradisi dan penghargaan seni kampus. Kini, tradisi kolektif itu seolah menegaskan: kampus modern bukan hanya mesin riset, melainkan rumah yang merawat memori budaya bangsa.
Menjelang akhir acara, suasana di Balairung UKSW berubah menjadi lebih hangat. Musik lembut mengalun, tepuk tangan peserta menggema. Ada rasa syukur yang tak terucap rasa yang muncul ketika ilmu, budaya, dan iman bersatu dalam harmoni. Dari Salatiga, UKSW menyalakan pelita kecil: pelita kebudayaan yang terus menyala, menuntun bangsa menuju masa depan yang lebih berpengetahuan, beradab, dan penuh kasih. (pr)









