Berita  

Sssst … Kami Retret Lagi: Tak Ada yang ‘Hanya’ Bila dari Keringat Rakyat

Dr. Marsel Robot

Oleh: Marsel Robot
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Undana

Ssssst… kami retret lagi. Dari seruan tipis yang memiuh rasah keadilan itu muncul pertanyaan, sebegitu penting dan gentingkah retret bagi para pejabat Provinsi Nusa Tenggara Timur hingga perlu dibela dengan logika yang berkilau, berlapis alibi yang meyakinkan, seperti yang dilakukan Papa Novan? Ia yang tiba-tiba muncul sebagai penjaga brankas anggaran, begitu getol dan getir berturut-turut menanggapi tulisan saya tentang Retret dalam Biara Kemiskinan Rakyat. Ia seakan sedang menulis pledoi bagi rakyat yang ragu terhadap pemerintah. Ia menyapa tanpa nama, menjawab tanpa identitas, tapi di akhir tulisannya menyempatkan klarifikasi yang justru membuka pintu kecurigaan: katanya, ia bukan buzzer, bukan penjilat, bukan pelindung kuasa. Aneh. Padahal saya tak pernah menuduhnya. Tidak dalam satu huruf pun.

Begitulah molekul negasi bekerja sebagai buzzer. Ia sering menjadi pengakuan yang malu-malu. Seperti orang yang merasa perlu menolak tuduhan sebelum dituduh. Tetapi, saya belajar satu hal: buzzer sejati bukan yang diberi label, tapi yang terlalu sibuk menghapus label yang belum sempat ditempel. Dan barangkali memang pemerintah sangat memerlukan mereka. Dengan demikian ventilasi dialektika dikatup biar lipstik narasi penguasa tak luntur oleh keringat rakyat. Bahwa retak kaca logika di bawah mendung kenyataan hidup rakyat yang terseok segera disulam diksi-diksi manis. Dengan demikian, opini yang melukakan segera dikompres oleh narasi penyelamat yang renyah di permukaan, tetapi getir di bagian dalam. Buzzer, rupanya, adalah palang pintu pemerintah dari dialektika yang merimbun di antara bunga-bunga di kantor gubernur.

Bagi saya, apakah Anda buzzer, penjilat, atau penulis lepas yang sedang magang di bawah meja kekuasaan itu tidak penting. Kita ini sedang bersendagurau di beranda dialektika membaringkan argumentasi di atas logika yang ramun dan kuat. Yang penting, jangan mengarah pentil pena ke lambung privasi. Jikalau memang benar Anda buzzer, saya justru sangat bergembira hati. Itu berarti, beberapa tulisan saya berhasil menembus barisan buzzer dan dibaca oleh gubernur. Bahkan kegelisahan saya dersah jauh ke dalam kamar paling mistis tempat arsip naskah pledoi dirancang. Terima kasih, sungguh, di tengah kesibukan Anda yang mungkin padat demi menjaga citra, menambal reputasi, mendandan narasi Anda, masih sempat menyanggah tulisan saya. Produktivitas Anda mengagumkan. Menulis sebanyak itu demi membela majikan adalah bentuk pengabdian yang layak dicatat sejarah. Tidak semua buzzer bisa seproduktif Anda.

READ  Retret Atambua: Antara Sekolah Pertobatan dan Cermin Kebingungan

Papa Novan menyanggah tulisan saya dengan mengatakan retret bukan soal “tempat” melainkan soal arah. Betapa teaterikalnya cara menggelincirkan pikiranmu. Persis seorang ibu yang kesurupan di acara kenduri. Lalu, berhamburan logika dengan basis terminologi yang bias. Sayang sekali, kalimat itu tergelincir seperti sandal jepit di anak tangga di kantor gubernur. Papa, izinkan saya mengingatkan, dalam dunia retret, tempat itu sngat penting dan bukan sekadar lokasi. Tempat adalah ruang yang ikut melegokan situasi dan makna. Suasana kadang dibentuk oleh ruang. Itulah sebabnya, para biarawan tidak pernah mengadakan retret di dekat terminal bus atau di mal atau di sebelah ruang karaoke. Mereka memilih tempat yang bisa mengundang sunyi, bukan gedung yang menggema suara absensi, bukan lapangan yang memerintahkan belok kanan belok kiri, sambil melatih tembak.

Jadi, ketika Anda menulis retret itu arah, maka terjadi pemuskilan substansi. Sekadar mengingat Papa. Jika retret soal arah, kenapa tidak dilakukan di halte bus? Bukankah di sana arah datang dan pergi saban menit? Atau kenapa tidak di aula Sasando di kantor gubernur yang dalam hitungan berapa langkah sudah tiba? Kenapa harus Universitas Pertahanan yang aulanya begitu riuh morse militer dan merdunya hentakan kaki? Justru karena tempat, maka pentinglah pertanyaan ini mengapung kepermukaan wacana: mengapa Pemprov NTT memilih Unhan sebagai Lokasi retret? Mengapa bukan di Undana, din Unika, atau di Muhammadiyah biar lebih dekat dari kompleks pemerintahan? Apakah suasana refleksi lebih mudah dibangun di bawah tiang bendera, diiringi instruktur bersuara cempreng yang mencak-mencak jam 4 pagi? Atau barangkali ada desain lain selain retret ini?

READ  Ret-Ret Pejabat NTT: Investasi ASN atau Pemborosan Anggaran?

Papa, retret bukan workshop perdagangan multilevel, bukan pula lomba baris-berbaris mengenakan baju putih, tanda pengenal atau batik ASN. Retret adalah momen menyepi dari rutinitas, perlahan berjalan ke dalam diri. Dengan demikian, pernyataan bahwa tempat tak penting dalam retret adalah seperti berkata kandil tak perlu gelap untuk menyala. Dan maaf Papa Novan, jika ini terdengar seperti interogasi. Bukankah Anda sendiri yang mengundang tanya, saat menyebut retret adalah “arah”. Lalu, membawanya ke kampus yang arah utamanya adalah pertahanan dan strategi? Jangan-jangan, yang sedang dilatih bukan hanya birokrasi, tapi juga loyalitas? Tapi sudahlah. Saya tak ingin menuduh. Toh, Seperti kata orang bijak, kadang, pertanyaan yang dijawab dengan marah justru yang paling mendekati kebenaran.

Papa Novan memutilasi pertanyaan saya dengan mengatakan, ‘Salahkah jika ruang refleksi itu difasilitasi dalam bentuk forum resmi, dengan biaya dari APBD? Sungguh pertanyaan amat dalam sedalam lubang jalan yang belum sempat diperbaiki karena dananya sedang fokus untuk membiayai perenungan para pejabat. Izinkan saya balik bertanya, apakah benar retret pejabat adalah kebutuhan mendesak? Lebih mendesak daripada kebutuhan rakyat untuk air bersih, pendidikan layak, stunting yang menjadi ikonik, dan tingkat literasi di NTT yang joblok? Padahal, Anda akui bahwa banyak aktivitas akademik lain untuk meningkatkan kapasitas aparatur negara seperti sekolah dinas, pelatihan kepemimpinan, seminar-semanar, rapat koordinasi. Lantas untuk apa retret.

Tiba-tiba Anda memelas dengan mengatakan, bahwa pejabat itu tidak pernah merenung. Apa memang retret untuk merenung atau baris-berbaris sambil berlatih menembak. Dan ini yang paling lucu dan terasa tengik. Anda mengatakan, retret ini sejalan dengan pendidikan kritis Paulo Freire. Papa, pendidikan kritis versi Paulo Freire itu bukan untuk birokrat, melainkan untuk kaum tertindas agar mereka sadar bahwa mereka sedang ditindas. Karena pertanyaan utama dalam kurikulum pendidikan kritis bukan: bagaimana cara menjadi pejabat yang lebih reflektif? Melainkan: “Mengapa saya miskin?” “Mengapa saya selalu tertinggal?” “Siapa yang mengambil hak-hak saya?” “Mengapa saya tidak punya akses atas pendidikan?” Pendidikan Kritis adalah pendidikan yang membebaskan. Membebaskan rakyat dari sistem yang membelenggu, dari kebijakan yang meminggirkan, dari struktur kekuasaan yang justru mempertahankan kebodohan.

READ  Prabowo dan PM Kanada Saksikan Penandatanganan Sejumlah Kesepakatan Strategis

Artinya, jika hendak menerapkan filosofi pendidikan kritis Paulo Freire, seharusnya yang diberi retret adalah rakyat kecil, agar mereka punya ruang untuk berpikir, bertanya, dan menyadari bahwa mereka telah terlalu lama terlantar. Mungkin maksudnya ingin terlihat enteng atau sepele biar rakyat merasa keberatan. Namun, sialnya penderitaan rakyat tidak seringan argument Papa Novan. Lantas, Anda mengatakan begitu enteng dan terasa menyakitkan, Rp1,6 miliar hanyalah 0,04% dari APBD Rp4,2 triliun. seperti Rp 40. dari dompet Rp100 ribu.

Tamsil dompet itu terasa menyakitkan bagi mereka yang tak pernah punya Rp100 ribu utuh dalam dompetnya.

Dalam logika kekuasaan, 0,04 persen mungkin tampak receh. Namun, dalam pengalaman hidup rakyat NTT, tak ada yang sepele atau receh seperti itu. Karena, setiap rupiah bukan diseok (diambil) dari brankas, tetapi menetes dari keringat, tela toni dempul wuku (istilah Manggarai). Ironisnya, kata “hanya” justru digunakan untuk melapisi alibi pemborosan yang tak mau diakui itu. Karena itu, sebelum Papa Novan berkata, “itu hanya 0,04 persen,” cobalah renungkan ini dan justeru refleksi ini sangat penting dimasukkan dalam kurikulum retret pejabat itu. Kalau pun mau membuat tamzil, barangkali lebih tepat begini: Rp1,6 miliar dari APBD adalah seperti setetes keringat dari tubuh rakyat yang kurang gizi. Dan selama itu keringat rakyat, maka tak pernah bisa disebut “HANYA.” Pun saya menginginkan kata HANYA ini akan dimasukkan dalam dompet auditor. Hati-hatilah memilih tamzil. Tamzil yang licin dapat memerosokkan orang yang Anda bela. Toh, Marius jelamu yang Anda kutip, bahkan Gubernur Melki Laka Lena pernah mengenyam pendidikan biara di mana retret ruang refleksi yang konteplatif biar lebih intensif berbicara tanpa kata dengan Sang Sunyi. Sekali lagi, tak ada yang HANYA bila dari telah toni dempul wuku dari rakyat.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *