Berita  

Ret-Ret Pejabat NTT: Investasi ASN atau Pemborosan Anggaran?

Oleh: Wily Mustari Adam,SE.,M.Acc Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Sektor Publik
Universitas Brawijaya, Malang

Belakangan publik Nusa Tenggara Timur (NTT) diramaikan dengan kabar pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT mengikuti kegiatan ret-ret di Universitas Pertahanan, Belu, dengan anggaran mencapai Rp1,6 miliar dan melibatkan 677 pejabat. Informasi ini segera memantik pro-kontra: ada yang melihatnya sebagai bentuk investasi institusional dalam membentuk perilaku aparatur sipil negara (ASN), ada pula yang menilai langkah ini sebagai pemborosan di tengah keterbatasan fiskal daerah dan masih tingginya angka kemiskinan. Media Pos Kupang (22/9/2025), mengungkapkan biaya retret Pejabat Pemprov NTT juga tidak dibahas bersama DPRD NTT. Bahwa nomenklatur retret tidak ditemukan dalam anggaran murni APBD 2025 maupun dalam perubahan APBDtahun 2025.

Kepala Ombudsman RI perwakilan NTT juga merespons kegiatan ret-ret ini sebagai agenda internalisasi visi-misi pemerintah pada momen yang kurang pas di tengah sorotan publik terkait efisiensi anggaran, angka kemiskinan NTT yang tinggi, bahkan di tengah rendahnya realisasi peneriman daerah (Pos Kupang, 24/9/2025).

Fenomena ini menarik untuk dianalisis karena menyangkut dua hal mendasar dalam tata kelola pemerintahan: pertama, bagaimana pemerintah mengelola anggaran publik dalam kondisi fiskal yang terbatas; dan kedua, bagaimana upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia birokrasi bisa berjalan beriringan dengan kebutuhan nyata masyarakat.

ASN dan Pentingnya Pembinaan Karakter

Tidak bisa dipungkiri, ASN adalah motor penggerak utama birokrasi. Perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan program pembangunan daerah sangat bergantung pada kapasitas, integritas, dan etos kerja aparatur. Oleh karena itu, pembinaan ASN tidak boleh hanya menyasar aspek teknis semata, seperti keterampilan administrasi atau kemampuan manajerial, melainkan juga menyentuh dimensi mental, moral, dan motivasi.

Dalam literatur tata kelola publik, dikenal konsep capacity building yang holistik, yakni pengembangan sumber daya manusia yang tidak hanya berbasis keterampilan teknis, tetapi juga pembentukan nilai-nilai, sikap, dan komitmen moral. Ret-ret, dalam kerangka ini, bisa dipahami sebagai bagian dari character building ASN.

READ  Gubernur NTT Kuliah Umum di Universitas Indonesia, Perkenalkan Simfoni Budaya Sumba

Dipilihnya Universitas Pertahanan sebagai lokasi kegiatan memberi bobot simbolik tersendiri. Lembaga ini dikenal dengan tradisi kedisiplinan, wawasan kebangsaan, dan pembentukan mental ketahanan. Jika benar dikelola serius, ASN NTT bisa memperoleh pemahaman baru tentang pentingnya nasionalisme, solidaritas sosial, serta kedisiplinan yang menjadi modal penting dalam tata kelola birokrasi modern. Namun, pertanyaan publik bagaimana keberadaan lembaga Bapelitbangda provinsi NTT dalam menjalankan fungsi pembinaan dan pengembangan seluruh aspek, baik diri maupun kelembagaan ASN? Bukan kah pengembangan karir ASN telah melalui proses uji standar mutu di sini?

Dari perspektif ini, ret-ret dapat dibaca sebagai investasi jangka panjang. Pemerintah seakan ingin menanam nilai-nilai luhur dalam birokrasi, sehingga ASN lebih bersemangat dalam bekerja, lebih disiplin, dan lebih loyal kepada kepentingan publik.

Realitas Sosial Ekonomi NTT

Namun, optimisme semacam itu tidak boleh membuat kita abai terhadap realitas sosial ekonomi NTT. Data terbaru menunjukkan bahwa NTT masih menjadi salah satu provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia. Lebih dari 1,13 juta jiwa penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.

Selain itu, infrastruktur dasar masih tertinggal. Jalan provinsi dalam kondisi baik baru mencapai sekitar 45 persen. Banyak desa masih kesulitan mendapatkan akses listrik, air bersih, dan layanan kesehatan. Tingkat pengangguran terbuka memang relatif rendah, tetapi sebagian besar masyarakat bekerja di sektor informal dengan produktivitas sangat rendah.

Dalam konteks seperti ini, setiap rupiah anggaran publik menjadi sangat berharga. Wajar jika publik kemudian mempertanyakan relevansi dan urgensi penggunaan Rp1,6 miliar untuk kegiatan internal pejabat. Pertanyaan kritis yang muncul adalah: apakah manfaat kegiatan ini bisa langsung dirasakan rakyat? Atau apakah kegiatan ini sekadar agenda rutin yang lebih menekankan aspek seremonial?

Efisiensi dalam Pengelolaan Anggaran Publik

Isu efisiensi menjadi salah satu kritik paling tajam terhadap kegiatan ini di tengah gaungnya penerapan prinsip anggaran berbasis kinerja di era desentralisasi ini. Ret-ret sejatinya bisa dilakukan dengan berbagai format. Pertanyaannya: apakah harus dengan biaya Rp1,6 miliar? Apakah tidak bisa dilakukan di fasilitas pemerintah daerah sendiri atau bekerja sama dengan universitas lokal dengan biaya lebih hemat?

READ  Menjaga Kedaulatan Desa Pesisir Dari Kapitalisme Negara

Pemerintah memang memiliki diskresi dalam mengalokasikan anggaran, tetapi diskresi itu harus dijalankan dengan prinsip efisiensi. Dalam kondisi fiskal daerah yang terbatas, setiap pemborosan kecil akan berdampak besar. Masyarakat menuntut agar pemerintah mengutamakan program yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan dasar rakyat, seperti perbaikan jalan, penyediaan air bersih, layanan kesehatan, atau subsidi pendidikan.

Dalam perspektif keadilan fiskal, pengeluaran untuk kegiatan ret-ret pejabat bisa dianggap kurang sensitif terhadap realitas sosial. Publik merasa ada jarak yang semakin lebar antara kehidupan pejabat dan penderitaan masyarakat sehari-hari.

Pentingnya Akuntabilitas Hasil

Selain efisiensi, aspek akuntabilitas juga menjadi sorotan. Ret-ret ASN akan sulit diterima publik jika tidak memiliki indikator keberhasilan yang jelas. Apa yang ingin dicapai? Bagaimana dampak kegiatan ini terhadap kinerja birokrasi? Apakah ada mekanisme evaluasi setelah kegiatan selesai?

Akuntabilitas hasil sangat penting. Jika ASN yang mengikuti ret-ret menunjukkan perubahan nyata, misalnya lebih disiplin hadir di kantor, lebih cepat merespons kebutuhan masyarakat atau pelayanan publik, atau lebih profesional dalam pelayanan, publik mungkin akan menerima kegiatan ini sebagai langkah positif. Sebaliknya, jika setelah Rp1,6 miliar digelontorkan birokrasi tetap bekerja lamban dan pelayanan publik tetap buruk, maka kegiatan ini hanya akan mempertebal sinisme rakyat.

Ret-Ret dalam Kerangka Reformasi Birokrasi
Ret-ret sebaiknya tidak dipahami sebagai kegiatan seremonial tahunan, melainkan harus ditempatkan dalam kerangka besar reformasi birokrasi. NTT sedang membutuhkan birokrasi yang mampu keluar dari jebakan rutinitas administratif menuju birokrasi yang inovatif, transparan, dan akuntabel.

Dalam kerangka reformasi, pembinaan mental ASN memang penting, tetapi harus diikuti langkah lain: digitalisasi layanan publik, penguatan sistem merit, pengawasan kinerja berbasis indikator terukur, dan keterlibatan masyarakat dalam kontrol. Ret-ret hanya akan bermakna jika menjadi salah satu instrumen pendukung dari strategi besar itu.

READ  Kompetisi BioChem Unwira Kupang Tingkatkan Minat Sains Siswa SMA

Menemukan Jalan Tengah

Daripada memperdebatkan apakah ret-ret ini “baik” atau “buruk”, jalan tengah yang konstruktif adalah memperbaiki desain dan implementasinya. Pemerintah perlu menegaskan bahwa kegiatan pembinaan ASN tetap penting, tetapi harus dilakukan dengan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas hasil.

Pertama, soal efisiensi: kegiatan bisa dirancang lebih hemat tanpa mengurangi kualitas. Pemprov bisa memanfaatkan fasilitas daerah sendiri atau menggandeng perguruan tinggi lokal dengan biaya lebih rendah.

Kedua, soal transparansi: pemerintah harus membuka rincian anggaran secara jelas kepada publik. Berapa biaya akomodasi, konsumsi, transportasi, dan materi pelatihan? Keterbukaan akan membangun kepercayaan.

Ketiga, soal akuntabilitas hasil: pemerintah harus menetapkan indikator kinerja ASN pasca-ret-ret. Misalnya, tingkat kehadiran, kepuasan masyarakat terhadap pelayanan, atau capaian target program pembangunan. Dengan begitu, publik dapat menilai apakah kegiatan ini memang berdampak nyata.

Ret-ret pejabat Pemprov NTT di Universitas Pertahanan dengan anggaran Rp1,6 miliar sesungguhnya berada di persimpangan antara niat baik dan keterbatasan realitas. Dari satu sisi, kegiatan ini bisa dianggap sebagai investasi jangka panjang dalam membentuk birokrasi yang lebih disiplin dan berintegritas. Namun, dari sisi lain, kondisi sosial ekonomi NTT yang masih penuh keterbatasan membuat publik berhak mempertanyakannya.

Pada akhirnya, rakyat NTT menuntut dua hal sekaligus: birokrasi yang berkualitas dan anggaran publik yang dikelola dengan adil serta efisien. Ret-ret ASN tidak boleh menjadi simbol jarak antara pejabat dan rakyat. Sebaliknya, kegiatan ini harus menjadi bagian dari upaya nyata membangun birokrasi yang melayani.

Setiap rupiah anggaran daerah sejatinya adalah titipan rakyat. Karena itu, penggunaannya harus selalu menjawab satu pertanyaan sederhana: apakah rakyat akan merasakan manfaatnya?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *