Berita  

Lautan Mahasiswa Baru UKSW Diterima di Salatiga

Rektor Prof. Intiyas bersama para wakil rektor dan anggota Forkopimda Kota Salatiga (foto: Pius Rengka)

Salatiga, detakpasifik.com- Malam itu, Sabtu (25/10/2025), halaman depan Gedung Administrasi Pusat Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) berpendar bagai kanvas hidup. Cahaya lampu menari di udara, denting musik bergema dari panggung, dan warna-warni kostum cosplay melintasi kerumunan. Suara tawa, tepuk tangan, dan seruan riang berpadu jadi orkestra spontan yang menghidupkan langit Salatiga.

Inilah Night Festival OMB 2025, malam perkenalan mahasiswa baru kepada Kota Salatiga. Sebuah tradisi tahunan yang bukan sekadar pesta kampus, tetapi salam hangat 600 jiwa muda kepada kota yang akan mereka sebut “rumah” selama beberapa tahun ke depan. Sedikitnya 3200 mahasiswa baru diterima masuk Kota Salatiga.

Di tengah sorot cahaya dan tepuk tangan ribuan penonton, Rektor UKSW, Profesor Intiyas Utami, melangkah ke panggung. Tidak dengan toga resmi, melainkan dalam kostum Tsunade, tokoh kuat dari serial animasi Naruto. Senyumnya lebar, langkahnya ringan, seolah ingin berkata bahwa di kampus ini, kreativitas tidak punya batas.

“Mereka datang dari berbagai penjuru Nusantara dan kini telah resmi menjadi warga Kota Salatiga,” ujarnya lantang disambut sorakan mahasiswa.

READ  Pejabat Berfoya, Rakyat Berdoa

Ia menatap barisan wajah muda di hadapannya, lalu menambahkan, “Kalian datang bukan hanya untuk belajar, tetapi untuk menjadi creative minority, pejuang yang berani, berintegritas, dan memberi dampak.”

Pesan itu menyalakan semangat. Di balik kostum dan tawa malam, terselip kesadaran bahwa mereka sedang memulai perjalanan panjang, menapaki masa depan dari kota kecil yang penuh toleransi ini.

Dari pihak pemerintah kota, Asisten Perekonomian dan Pembangunan, M. Sidqon Effendi, turut menyambut hangat. “Ini bukan sekadar festival, tapi simbol kulanuwun (bhs. Jawa artinya: permisi) ketukan pintu mahasiswa baru kepada masyarakat Salatiga,” katanya.

Ia mengakui, hubungan UKSW dan Salatiga sudah sedemikian erat hingga sulit dipisahkan. “Tidak ada Salatiga tanpa UKSW,” ucapnya. “Kota ini adalah miniatur Indonesia, dan mahasiswa UKSW adalah jantung keberagamannya.”

Parade Cahaya dan Imajinasi

Malam berlanjut dengan parade kostum dari 15 fakultas yang merupakan panggung raksasa kreativitas yang mencampur imajinasi dan simbolisme ilmu pengetahuan.

Fakultas Ekonomika dan Bisnis menampilkan Julius Caesar berkolaborasi dengan barong Bali dan gelungan Nusantara, simbol pertemuan antara ekonomi, sejarah, dan budaya. Fakultas Sains dan Matematika menghadirkan Kesatria Solaris Geometris, perwujudan cahaya ilmu yang menuntun peradaban. Fakultas Teologi membawa sayap Malaikat Agung dan burung Phoenix, lambang kebangkitan dan pencerahan. Fakultas Teknologi Informasi tampil futuristik dengan kostum “Darah Biru”, metafora kekuatan inovasi digital.

READ  UKSW dan Makna Menjadi Tuan Rumah Dialog Budaya Nusantara

Di antara para peserta, Renaldi Satrio, mahasiswa baru Manajemen FEB, menjadi pusat perhatian. Kostumnya hasil kolaborasi antar-fakultas yang memakan waktu sebulan. “Senang sekali. Ini bukan cuma parade, tapi kerja keras bersama. Kami ingin menunjukkan bahwa UKSW adalah rumah kreativitas,” ujarnya sambil tersenyum bangga.

Dari Drumblek hingga Barongsai: Satu Nada Persaudaraan

Puncak acara ditutup dengan gemuruh Barongsai Longshen, menghadirkan keagungan budaya Tionghoa yang menandai keberagaman di tengah kesatuan. (Foto: Pius )

Panggung malam dibuka oleh Drumblek Gandalisa dan Gempar Pancuran yang menggetarkan bumi dengan Mars UKSW, Manuk Dadali, hingga Bangun Pemudi Pemuda. Irama perkusi berpadu dengan semangat muda, menyatukan ribuan orang tanpa sekat.

Ketika Barongsai Longshen menutup malam, semua sorot mata seolah sepakat: ini bukan sekadar hiburan, tapi perayaan identitas. “Sebagai warga, saya senang sekali. Acara ini memperkenalkan budaya kepada mahasiswa baru dari berbagai daerah,” kata Venti Kusumaning Tyas, warga Kalioso yang datang bersama keluarganya.

READ  Solidaritas Korban Penembakan, DKI Beri Warna Bendera New Zealand di JPO GBK

Sementara Eko Irwanto, warga Canden, menimpali dengan sederhana, “Acara ini bagus sekali. Menyatukan mahasiswa dan masyarakat. Rasanya hangat.”

Bagi Hanita Yulia, Koordinator Night Festival, kegiatan ini adalah wujud pembelajaran yang sebenarnya. “Mahasiswa baru belajar bekerja sama, berpikir kreatif, dan mencintai almamater,” ujarnya.

Tahun ini, konsepnya berubah, bukan lagi parade keliling kota, melainkan open house masyarakat datang langsung ke kampus. “Kami ingin UKSW benar-benar menjadi rumah bagi keberagaman dan kreativitas,” katanya.

Malam itu, di bawah bintang-bintang yang menggantung di langit Salatiga, UKSW meneguhkan jati dirinya: bukan sekadar perguruan tinggi, melainkan ruang hidup di mana ilmu, seni, dan kemanusiaan bertemu dalam satu semangat Menjadi Indonesia.

Sebagai kampus dengan akreditasi Unggul dan 65 program studi, UKSW telah berdiri sejak 1956 sebagai simbol pluralisme dan inovasi. Dan malam itu, dalam kilau lampu dan dentum musik, sejarah kecil pun tercipta lagi sebuah malam di mana kreativitas dan persaudaraan menyalakan kota. (pr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *