Berita  

Pejabat Berfoya, Rakyat Berdoa

Marselus Natar

Oleh: Marselus Natar (rohaniawan Katolik pada kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus, Penulis buku kumpulan cerpen berjudul Usaha Membunuh Tuhan)

“Media sosial menyingkap kenyataan pahit: anak pejabat berfoya dengan tas mewah dan liburan ke luar negeri, sementara rakyatnya berdoa agar besok bisa makan. Inilah wajah asli republik yang katanya berdiri atas nama rakyat.”

Fenomena gaya hidup mewah pejabat dan keluarganya belakangan kembali menjadi sorotan. Nepal, negeri kecil di kaki Himalaya, memberi kita cermin yang begitu jelas: rakyat kebanyakan masih berjuang untuk bertahan hidup, sementara para elit politik dan anak-anak mereka sibuk mempertontonkan kemewahan di media sosial. Kontras itu begitu telanjang, seakan dua dunia berbeda hidup berdampingan dalam satu negara.

Namun, sejatinya kita tidak perlu jauh-jauh menengok Nepal. Indonesia pun bergelimang cerita serupa. Dari pesta pernikahan mewah pejabat daerah, hingga anak-anak pejabat yang hobi pamer tas branded dan liburan ke Eropa. Semua itu berlangsung di tengah jeritan rakyat yang mengeluh harga kebutuhan pokok kian mencekik.

Ironi semacam ini bukan sekadar cerita selingan. Ia adalah realitas yang memperlihatkan jurang kesenjangan sosial yang makin menganga di negeri yang katanya “berdaulat atas nama rakyat.” Singkatnya, pejabat berfoya, rakyat berdoa.

Anak Pejabat, Hidup dalam Dunia Jetset

Media sosial telah menjadi panggung favorit bagi anak-anak pejabat untuk memamerkan gaya hidup jetset. Seolah-olah kemewahan adalah identitas yang harus ditunjukkan. Dari unggahan foto-foto liburan ke Dubai, hingga koleksi mobil sport yang dipamerkan dalam video singkat, mereka menjadikan ruang publik digital sebagai etalase kekuasaan yang diwariskan.

Pertanyaannya sederhana: dari mana semua kemewahan itu berasal? Jika dihitung berdasarkan gaji resmi seorang pejabat, rasanya mustahil untuk membiayai gaya hidup semacam itu. Apakah semua berasal dari usaha pribadi anak-anak mereka? Atau ada aliran dana tersembunyi yang mengalir deras dari kekuasaan?

READ  Sampah Jadi Tiket Baca, Rumah Literasi di Kupang Tanamkan Karakter Anak Desa

Publik tentu berhak curiga. Sebab di negeri ini, praktik nepotisme, korupsi, dan penyalahgunaan kewenangan bukanlah cerita asing. Bahkan sudah menjadi bagian dari kamus politik sehari-hari.

Rakyat Menjerit, Elit Berfoya

Di Flores, Nusa Tenggara Timur, masyarakat masih bergulat dengan kebutuhan dasar: jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, listrik yang padam setiap minggu, hingga biaya sekolah yang memberatkan orang tua. Di Papua, banyak keluarga harus berjalan kaki berjam-jam hanya untuk mencapai fasilitas kesehatan sederhana.

Bandingkan dengan potret sebagian elit negeri ini. Mobil seharga miliaran rupiah berjejer di garasi rumah megah. Pesta ulang tahun anak-anak pejabat diselenggarakan di hotel bintang lima dengan hiburan artis ibu kota. Bahkan ada pesta pernikahan yang menghabiskan ratusan miliar rupiah, dihiasi lampu gemerlap seolah seluruh negeri sudah bebas dari kemiskinan.

Kontras semacam ini menyakitkan hati rakyat. Bagaimana tidak? Mereka yang mestinya menjadi pelayan publik justru hidup dalam kemewahan yang seakan tak ada habisnya. Sementara rakyat yang dipimpin harus puas dengan janji-janji kosong yang tidak pernah sampai ke meja makan.

Dan di sinilah ungkapan “pejabat berfoya, rakyat berdoa” menemukan relevansinya. Ketika pejabat sibuk memikirkan pesta, rakyat justru sibuk melipat tangan, berdoa agar besok masih bisa makan.

Budaya Pamer dan Hilangnya Empati

Masalah utama bukan hanya pada kemewahan itu sendiri, melainkan budaya pamer yang melingkupinya. Media sosial menjadikan perilaku pamer sebagai sesuatu yang dianggap normal, bahkan pantas dibanggakan. Para pejabat dan keluarganya mungkin berpikir, “Ini hak pribadi, uang kami, terserah kami mau apa.”

READ  62 Tahun PMKRI Kupang Mengukir Kiprah Kader di Daerah dan Nasional

Namun, logika itu runtuh ketika kita ingat: uang mereka berasal dari rakyat. Gaji pejabat dibayar oleh pajak yang dikutip dari keringat buruh, petani, nelayan, dan pedagang kecil. Setiap pesta mewah dan barang branded yang mereka pamerkan adalah tamparan keras bagi mereka yang berjuang demi sesuap nasi.

Ketika empati terkikis, pejabat tidak lagi melihat dirinya sebagai bagian dari rakyat. Mereka hidup dalam menara gading, terputus dari realitas. Rakyat yang antri sembako, anak-anak yang belajar di ruang kelas bocor, atau pasien yang menunggu di rumah sakit tanpa fasilitas memadai, semua seakan hanya cerita di televisi.

Dari Nepal ke Indonesia: Fenomena Global, Luka Lokal

Nepal memang memberi kita cermin. Namun cermin itu justru menyingkap wajah kita sendiri. Indonesia punya daftar panjang kasus yang tidak kalah memalukan. Ada anak pejabat yang pamer kekayaan di media sosial hingga memicu kemarahan publik. Ada pejabat yang tertangkap kamera mengenakan jam tangan ratusan juta saat rapat resmi. Bahkan ada menteri yang pernikahan anaknya berlangsung begitu megah, seolah-olah rakyat tidak sedang dihantam inflasi.

Fenomena ini tidak bisa hanya dilihat sebagai persoalan individu. Ini adalah persoalan sistem. Transparansi kekayaan pejabat sering kali lemah, lembaga pengawas tidak cukup berani menindak, sementara masyarakat sering hanya bisa mengeluh di media sosial.

Kesenjangan sosial yang ekstrem adalah bom waktu. Sejarah sudah menunjukkan, jurang terlalu lebar antara penguasa dan rakyat kerap menjadi pemicu gejolak sosial. Ketika rakyat tidak lagi percaya pada pemimpinnya, stabilitas negara pun ikut goyah.

Politik Sebagai Jalan Kemewahan

Di atas kertas, politik adalah jalan pengabdian. Tetapi di Indonesia, politik sering kali dilihat sebagai pintu masuk menuju kekayaan. Jabatan publik dijadikan batu loncatan untuk mengumpulkan harta, mengamankan posisi keluarga, dan membangun dinasti politik.

READ  Mahasiswa di Kupang Refleksi Sumpah Pemuda: Kawal Isu Lingkungan dan Peran Gen Z dalam Kearifan Lokal

Tak heran jika pejabat merasa wajar hidup bermewah-mewah. Mereka melihat jabatan sebagai hasil perjuangan pribadi, bukan mandat rakyat. Maka rakyat pun semakin terpinggirkan dari ruang keadilan.

Di titik ini, kita harus jujur: pejabat dengan gaya hidup mewah bukan sekadar masalah moral, melainkan juga pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi. Demokrasi tidak mungkin berjalan sehat ketika wakil rakyat justru menjauh dari rakyat.

Saatnya Membalik Cermin

Apa yang harus dilakukan?
Pertama, pejabat publik dan keluarganya harus belajar menahan diri. Hidup sederhana bukan berarti miskin, tetapi tanda penghormatan pada rakyat yang mereka wakili. Dengan memilih kesederhanaan, pejabat memberi teladan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan tiket menuju gemerlap dunia.

Kedua, sistem transparansi harta pejabat harus diperkuat. Laporan kekayaan bukan sekadar formalitas, tetapi harus bisa diakses publik secara jelas. Masyarakat berhak tahu dari mana asal harta para pemimpinnya.

Ketiga, publik juga harus lebih kritis.
Jangan biarkan budaya pamer pejabat dan keluarganya dianggap lumrah. Kritik, suarakan, dan ingatkan bahwa pejabat hanyalah pelayan, bukan bangsawan.

Nepal memberi kita cermin. Tapi percuma jika kita sibuk menunjuk jauh ke sana, sementara wajah kita sendiri penuh noda. Indonesia hari ini tidak hanya punya rakyat miskin yang menjerit, tetapi juga pejabat kaya yang berfoya. Jika jurang ini terus dibiarkan, bukan mustahil suatu saat rakyat akan menagih kembali apa yang sesungguhnya milik mereka: keadilan.
Dan pada akhirnya, sejarah akan mencatat: di negeri ini, ketika pejabat berfoya, rakyat hanya bisa berdoa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *