Peta Baru Konflik Israel Hamas 2025

Oleh: Pius Rengka

Oktober 2025 menjadi bulan yang kembali menegangkan di Timur Tengah. Setelah hampir setahun perang yang meluluhlantakkan Gaza, gencatan senjata antara Israel dan Hamas akhirnya tercapai melalui mediasi Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat.

Dunia menyambutnya dengan harapan yang nyaris sinis, harapan yang tahu dirinya rapuh. Di layar televisi internasional, para pejabat berjabatan tangan, tetapi di reruntuhan Rafah dan Khan Younis, warga masih mencari anggota keluarga di antara puing-puing beton yang mengeras oleh debu dan darah.

Dalam sejarah panjang konflik ini, setiap gencatan senjata lebih sering berfungsi sebagai sekadar jeda dalam kekerasan, bukan penutup babak tragedi. Dan, kali ini, jeda itu tampak sebagai panggung baru bukan hanya bagi diplomasi, tetapi juga bagi propaganda politik.

Kesepakatan gencatan senjata Oktober 2025 dimulai dengan serangkaian perundingan tertutup di Doha dan Kairo, dengan tekanan kuat dari Washington agar Israel membuka koridor kemanusiaan dan menahan diri dari operasi darat lanjutan. Hamas di sisi lain, dalam kondisi militer yang rapuh dan melemah, mencoba menegosiasikan pembebasan tahanan politik dan pemulihan sebagian wilayah administratif di Gaza utara.

Namun, gencatan senjata itu sejak awal sudah penuh jebakan. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menghadapi tekanan domestik yang belum pernah sebesar ini.

Di Tel Aviv dan Yerusalem, ribuan demonstran turun ke jalan menuntut pengunduran dirinya setelah perang panjang yang tak berujung dan meningkatnya korban sipil di Gaza. Sementara di kubu Hamas, kepemimpinan politik di Doha dan struktur militer di Gaza mulai retak karena perbedaan strategi antara pragmatisme politik dan militansi ideologis.

Kedua belah pihak tampak berhenti menembak bukan karena kehendak damai, tetapi karena kelelahan. Dan, di titik inilah, propaganda kembali bekerja lebih keras daripada diplomasi.

Propaganda di Antara Puing dan Kamera

Konflik ini tak lagi hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di ruang digital global. Setelah gencatan senjata diumumkan, kedua kubu berlomba menguasai narasi publik. Israel berusaha menegaskan kemenangan strategis bahwa operasi militer “menghancurkan infrastruktur teror” Hamas dan membuka jalan bagi “Gaza baru” di bawah pengawasan internasional.

Sementara Hamas, lewat media sosial dan jaringan diaspora, memutarbalikkan makna kekalahan menjadi kemenangan moral, bertahan hidup setelah 11 bulan serangan adalah simbol ketahanan rakyat Palestina.

Media internasional menjadi ladang propaganda tersendiri. Platform-platform berita Barat, di bawah tekanan politik domestik dan kepentingan keamanan, seringkali mengaburkan proporsi antara pelaku dan korban. Sebaliknya, media Arab dan independen global menyoroti penderitaan sipil dan membingkai Israel sebagai kekuatan kolonial modern.

READ  Retret Atambua: Antara Sekolah Pertobatan dan Cermin Kebingungan

Di tengah pusaran itu, kebenaran menjadi amat sangat samar bahkan kabur. Bahkan lembaga internasional seperti PBB pun tampak kehilangan otoritas moralnya. Hal itu terbukti, ketika Sekretaris Jenderal Antonio Guterres menyebut tragedi Gaza sebagai “bukti kegagalan sistem global melindungi manusia”, banyak negara memilih diam. Dunia tampak menonton, tetapi tak lagi menangis. Dunia diam, bahkan terkesan membiarkan konflik terus berlangsung.

Rekonstruksi dan Keterlibatan Kapital

Setelah gencatan, isu utama bergeser ke rekonstruksi Gaza. Bagaimana Gaza dipulihkan dari puing reruntuhan menyusul perang yang berkecamuk selama setahun. Qatar menjanjikan dana 3 miliar dolar untuk rehabilitasi infrastruktur dasar, sementara Uni Emirat Arab menyiapkan rencana investasi di pelabuhan dan energi.

Amerika Serikat mengirim utusan khusus untuk memastikan distribusi bantuan tak jatuh ke tangan Hamas. Namun di balik jargon “rekonstruksi kemanusiaan”, terhampar kepentingan geopolitik yang lebih luas yaitu siapa yang akan mengendalikan Gaza pasca-perang.

Israel mendorong model “zona keamanan permanen” di perbatasan utara dan barat Gaza, sementara Mesir khawatir akan arus pengungsi yang tak terkendali mengalir ke arah wilayahnya. Iran memperkuat dukungan terhadap kelompok perlawanan di Lebanon dan Suriah, menjadikan Gaza simbol perlawanan terhadap dominasi Barat. Dengan demikian, perdamaian pasca-2025 bukan hanya tentang Gaza, melainkan tentang bagaimana modal, militer, dan narasi bekerja secara simultan di atas reruntuhan kemanusiaan.

Kapital global, dalam bentuk kontraktor rekonstruksi, organisasi kemanusiaan, dan lembaga keuangan internasional, kini menjadi aktor baru di medan pasca konflik. Mereka berbicara tentang pembangunan, tetapi seringkali melupakan trauma. Gaza, dalam konteks ini, bukan hanya kota yang harus dibangun kembali, tetapi juga pasar yang baru dibuka.

Peta Baru Timur Tengah

Pasca-gencatan 2025 menandai perubahan geopolitik signifikan di kawasan. Normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab kini mengalami stagnasi. Arab Saudi, yang sebelumnya didorong AS untuk menandatangani kesepakatan Abraham, kini menahan diri, menuntut jaminan lebih besar atas pembentukan negara Palestina.

Sementara itu, Iran memanfaatkan situasi untuk memperluas pengaruhnya melalui jaringan proksinya di Lebanon, Suriah, dan Irak. Rusia, yang tengah terjebak dalam isolasi akibat konflik Ukraina, melihat Timur Tengah sebagai medan diplomasi alternatif untuk menunjukkan relevansinya.

READ  Pius Rengka Raih Gelar Doktor: Membaca Ulang Kepemimpinan Politik di NTT Lewat Lensa Akademik

Cina bergerak lebih halus, dengan menawarkan peran sebagai mediator ekonomi dan penjamin rekonstruksi Gaza sebuah strategi yang melengkapi ambisi Belt and Road Initiative di kawasan Laut Merah. Dalam pusaran ini, Palestina sekali lagi menjadi panggung bagi kekuatan besar. Perdamaian berubah menjadi komoditas; siapa yang bisa menjual narasi paling meyakinkan, dialah yang memegang kendali moral dan politik. Lalu bagaimana dengan Indonesia negeri penuh koruptor ini bereaksi?

Bagi Indonesia, gencatan senjata Oktober 2025 bukan sekadar berita luar negeri. Tetapi, gencatan senjata adalah gema dari komitmen moral yang sudah berakar sejak Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung. Dalam setiap forum internasional, Jakarta tetap menegaskan sikap bahwa kemerdekaan penuh bagi Palestina adalah imperatif moral dan bukan sekadar wacana diplomatik. Tetapi, diplomasi tanpa isi kepala yang cukup.

Presiden Indonesia, dalam pidato di Sidang Umum PBB bulan Oktober 2025, menegaskan bahwa “tidak akan ada stabilitas global yang sejati selama penjajahan masih berlangsung di tanah Palestina”. Pernyataan yang mengundang perhatian luas dunia ini, meskipun standart normatif, tetapi pernyataan itu fungsional untuk mengingatkan dunia bahwa Indonesia menempatkan solidaritas kemanusiaan di atas kepentingan ekonomi jangka pendek. Meski agak ironis, karena problem dalam negeri Indonesia sendiri justru remuk redam digerogoti oleh warga negara sendiri melalui korupsi masif yang tidak tahu batas. Dunia mencibir Indonesia justru melalui kelakuan ini.

Kementerian Luar Negeri RI juga mengambil langkah konkret. Indonesia menjadi salah satu pengusul utama resolusi Dewan HAM PBB untuk mengirim Independent Fact-Finding Mission ke Gaza guna memverifikasi pelanggaran hak asasi manusia selama perang berlangsung. Langkah ini didukung negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Brunei Darussalam, tetapi mendapat tentangan keras dari Amerika Serikat dan beberapa anggota Uni Eropa yang menilai penyelidikan itu “tidak seimbang”.

ASEAN dan Tantangan Konsensus
Namun, dalam konteks kawasan, posisi Indonesia tidak selalu mudah. ASEAN secara kelembagaan memilih diam, dengan alasan konflik Israel-Palestina bukan isu prioritas regional. Negara-negara seperti Singapura dan Thailand lebih memilih pendekatan netral karena kepentingan ekonomi dan hubungan strategis mereka dengan Israel di bidang teknologi pertahanan. Pilihan ini sangat masuk akal.

Indonesia, karenanya, tampak berdiri sendirian membawa obor moralitas Asia Tenggara di forum global. Meski demikian, sikap ini justru memperkuat identitas politik luar negeri Indonesia sebagai juru bicara Selatan Global sebuah posisi yang semakin langka di dunia pasca-pandemi, ketika pragmatisme sering mengalahkan prinsip.

READ  Menebak Kursi Sekda Kota Kupang

Selain jalur diplomasi formal, Indonesia mengaktifkan diplomasi kemanusiaan. Lembaga-lembaga seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Dompet Dhuafa mengirim bantuan medis, makanan, serta relawan ke Gaza melalui jalur Mesir. Dalam konteks ini, solidaritas rakyat Indonesia menjadi soft power yang efektif: memperlihatkan wajah Islam Nusantara yang damai, inklusif, dan berorientasi pada kemanusiaan global. Meski disadari atau tidak, agak hipokrit bahkan munafik, karena relasi sempalan Islam garis keras dengan agama lain di Indonesia justru dinodai oleh aneka penghalangan dan pembatasan siar dan pembangunan tempat ibadah yang membuat pemerintah terkesan tampak tidak berdaya.

Media-media Timur Tengah seperti Al Jazeera dan Middle East Eye bahkan menyoroti kontribusi Indonesia sebagai “negara Muslim besar yang mampu menyalurkan empati global tanpa mengobarkan kebencian sektarian”. Paradoks ini menunjukkan bahwa dalam lanskap geopolitik baru, kekuatan moral bisa menjadi aset diplomatik yang langka.

Refleksi Politik Domestik

Sikap tegas Indonesia terhadap Palestina juga memiliki resonansi domestik. Di tengah polarisasi politik menjelang transisi pemerintahan baru pada 2025, isu Palestina kembali menjadi perekat nasional yang jarang ditemukan. Partai-partai politik lintas ideologi berlomba menunjukkan dukungan terhadap perjuangan Palestina, bukan hanya karena alasan moral, tetapi juga karena ia menyentuh akar identitas bangsa yaitu anti-penjajahan, pro-kemanusiaan, dan solidaritas dunia ketiga.

Namun, di balik seruan moral itu, ada juga tantangan realpolitik. Indonesia memiliki hubungan ekonomi yang kian kompleks dengan Amerika Serikat dan mitra-mitra Eropa yang pro-Israel. Keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme inilah yang kini menjadi ujian terbesar bagi diplomasi Indonesia di forum internasional. Apakah Menlu Sugiono mampu memerankan diplomasi politik ini dengan cukup cermat di masa depan, kita nanti menanti.

Dalam konteks geopolitik global yang kian dipenuhi sinisme, keberanian Indonesia mempertahankan prinsip moral menjadi oase langka. Bukan karena Indonesia memiliki kekuatan militer atau ekonomi untuk mengubah situasi, tetapi karena ia masih percaya bahwa dunia tanpa nurani adalah dunia tanpa masa depan.

Peran Indonesia di Gaza, sekecil apapun, mengingatkan bahwa diplomasi sejati bukan sekadar pertukaran kepentingan, melainkan upaya menjaga kemanusiaan dari kehancuran total. Dalam hal ini, Jakarta berdiri di sisi sejarah yang benar: menolak diam di hadapan penderitaan, dan menolak lupa bahwa perdamaian sejati hanya lahir dari keadilan. Begitulah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *