Salatiga, detakpasifik.com- Di bawah kepemimpinan Rektor perempuan pertama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Prof. Intiyas Utami, kampus yang dikenal sebagai “universitas dialog dan kebangsaan” itu kembali menjadi ruang perjumpaan intelektual yang penting bagi sejarah nasional.
Pada Rabu, 16 Oktober 2025, di ruang G505 Gedung Pascasarjana Fakultas Interdisiplin Studi Pembangunan, berlangsung Ujian Kualifikasi Disertasi Doktor Studi Pembangunan atas nama Muhammad Ismail Mangkusubroto seorang kandidat doktor yang tak lain adalah cucu kandung Jenderal Ahmad Yani, pahlawan revolusi dan arsitek profesionalisme militer Indonesia.
Disertasi yang diuji di bawah bimbingan Prof. Daniel D. Kameo, Ph.D., dan Dr. Wilson M.A. Therik, dengan penguji internal Dr. Suwarto Adi dan Bambang Ismanto, dan Dr. J. Mardimin, topik yang sarat makna: “Kiprah Jenderal TNI Ahmad Yani Membangun Militer Indonesia Melalui TNI Angkatan Darat.” Dengan hasil kelulusan sempurna, sidang ini bukan sekadar peristiwa akademik, tetapi juga momentum untuk menafsir ulang sejarah militer Indonesia dari perspektif pembangunan dan profesionalisme.
Ismail Mangkusubroto dalam paparannya menggambarkan konteks awal 1960an sebagai masa yang paling kompleks dalam perjalanan bangsa. Indonesia yang baru merdeka tengah berjuang membangun identitas nasional, sementara di sisi lain harus menavigasi gelombang politik global di bawah bayang Perang Dingin.
“Periode 1962-1965 adalah tahun-tahun yang menentukan,” papar Ismail. “Jenderal Ahmad Yani mengambil tanggung jawab besar untuk mentransformasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dari kekuatan gerilya menjadi militer modern yang disiplin dan profesional.”
Ketika Ahmad Yani menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) pada 1962, ia mewarisi lembaga militer yang masih bermental gerilya penuh semangat juang tetapi minim disiplin dan struktur profesional. Melalui reorganisasi struktur komando, penguatan lembaga pendidikan militer seperti Akmil dan Seskoad, serta upaya membangun kapasitas alat utama sistem senjata (alutsista), Yani menanamkan fondasi yang membuat TNI AD menjadi lembaga pertahanan yang berwibawa dan modern.
Salah satu langkah monumental yang disebut Ismail adalah “Misi Yani” tahun 1959, ketika Ahmad Yani memimpin pembelian alutsista dari sebelas negara, termasuk panser Alvis Saracen dan Alvis Saladin dari Inggris, serta roket dari Cekoslowakia. “Langkah itu bukan sekadar belanja senjata,” jelas Ismail, “melainkan proyek strategis untuk membangun kemandirian dan kesiapan militer nasional.”
Dari Profesionalisme ke Politik Pertahanan
Kajian Ismail Mangkusubroto menemukan tiga hal penting dari kepemimpinan Ahmad Yani. Pertama, ia adalah arsitek transformasi TNI Angkatan Darat yang menegaskan disiplin, integritas, dan orientasi profesional. Kedua, Ahmad Yani memperlihatkan kepemimpinan visioner di tengah turbulensi politik, menjaga hubungan dengan Presiden Soekarno tanpa mengorbankan otonomi militer. Dan ketiga, warisan pembangunan institusionalnya belum sepenuhnya dikenali publik, karena sejarah kerap berhenti pada narasi biografis dan tragedi 30 September 1965.
Namun yang menarik, menurut Ismail, semangat kepemimpinan Yani kini kembali relevan. Rancangan amendemen Undang-Undang TNI 2025 yang membuka peluang bagi perwira aktif menduduki jabatan sipil dan memperpanjang usia pensiun dinilai berpotensi menimbulkan deviasi profesionalisme yang dulu dijaga ketat oleh Yani.
“Spirit Jenderal Ahmad Yani adalah menjaga kemurnian TNI sebagai kekuatan pertahanan, bukan politik,” ujar Ismail tegas. “Jika militer kembali diseret ke jabatan sipil, kita justru mundur dari cita-cita reformasi dan kehilangan marwah institusi pertahanan yang otonom.”
Dalam konteks politik hari ini, ketika negara sedang menata ulang relasi sipil-militer di tengah konstelasi kekuasaan yang makin terpusat, disertasi ini menghadirkan peringatan yang halus tetapi tajam. Ahmad Yani bukan sekadar simbol korban politik 1965, tetapi tokoh yang membangun arah profesionalisme TNI sekaligus menjaga agar kekuatan bersenjata tetap berdiri di bawah supremasi negara, bukan kekuasaan politik sesaat.
Dengan penelitian ini, UKSW menegaskan kembali perannya sebagai ruang kritis untuk membaca ulang sejarah nasional dengan kacamata pembangunan dan etika kepemimpinan. “Ahmad Yani adalah contoh bahwa kekuasaan sejati bukan pada senjata, tetapi pada karakter dan dedikasi terhadap bangsa,” tutup Ismail Mangkusubroto dalam ujian yang disambut tepuk tangan panjang dari para penguji dan peserta. (pr)











