Berita  

Indonesia Dalam Pusaran Konstelasi Ekonomi Politik Global

Oleh: Yesaya Sandang (Kepala Program Studi Magister Studi Pembangunan UKSW Salatiga)

Kunjungan kerja singkat Presiden Prabowo ke Tiongkok pada baru baru ini menarik untuk dianalisa. Keputusan Prabowo menghadiri peringatan 80 tahun kemenangan China atas Jepang dan bertemu Xi Jinping di tengah situasi dalam negeri yang bergejolak mengirimkan sinyal kuat tentang prioritas geopolitik Indonesia. Sementara demonstrasi masih berlangsung di berbagai daerah, presiden memilih hadir di parade militer Beijing bersama Putin dan Kim Jong-un.

Posisi Indonesia hari ini memang rumit. Negara dengan 270 juta penduduk ini terapit antara dua kekuatan besar yang saling berebut pengaruh. Washington menawarkan kemitraan lewat jalur investasi dan perdagangan bebas. Beijing menggoda dengan proyek infrastruktur megah melalui Belt and Road Initiative. Tapi apakah Indonesia harus memilih salah satu? Atau ada jalan lain yang lebih menguntungkan?

Jejak Panjang Ketergantungan

Untuk memahami dilema tersebut, kita perlu menoleh ke belakang. Sejak era Orde Baru, Indonesia sudah akrab dengan model pembangunan ala Barat. Resepnya: buka pintu lebar-lebar untuk investasi asing, jual sumber daya alam, dan manfaatkan buruh murah untuk pasar global. Hasilnya memang ekonomi tumbuh pesat. Tapi siapa yang paling diuntungkan? Perusahaan multinasional dan segelintir elite dalam negeri. Rakyat kebanyakan? Tetap jadi penonton yang sesekali turun ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah.

John Pilger, dalam dokumenter The New Rulers of the World (2001), menunjukkan bagaimana Indonesia dijadikan semacam laboratorium neoliberalisme. Tidak berlebihan. Negara kita memang menjadi ajang uji coba bagaimana membuat negara berkembang bergantung pada modal asing sambil tetap terlihat berdaulat. Akibatnya, peran negara lebih mirip makelar. Mempertemukan kepentingan kapital global dengan elite lokal, sementara aspirasi rakyat sering diabaikan.

Dilema Kebijakan Keuangan Pemerintah

Kebijakan fiskal Indonesia dalam satu dekade terakhir kerap dipuji investor internasional. Peringkat investasi (investment grade) tetap terjaga, nilai tukar rupiah relatif stabil, dan defisit APBN konsisten di bawah 3 persen. Namun di dalam negeri, berbagai langkah penyesuaian, seperti pemotongan subsidi energi dan rencana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Solar, sering memicu kritik publik karena dinilai terlalu “pro-pasar.”

READ  Solidaritas Korban Penembakan, DKI Beri Warna Bendera New Zealand di JPO GBK

Ini bukan semata soal individu teknokrat tertentu, melainkan dilema struktural yang dihadapi pengelola kebijakan ekonomi Indonesia. Di satu sisi, ada tuntutan menjaga kredibilitas internasional demi stabilitas ekonomi jangka panjang. Di sisi lain, terdapat tekanan domestik untuk menghadirkan kebijakan yang lebih populis dan berpihak pada masyarakat rentan. Ruang gerak teknokrat pemerintah memang terbatas. Tanpa basis politik yang kuat, agenda redistributif yang lebih progresif sulit diperjuangkan di tengah tarik-menarik kepentingan elite dan tuntutan pasar global.

Pesona dan Jebakan Model China

China hadir dengan tawaran yang tampak lebih menggoda. Dalam empat dekade terakhir, Negeri Tirai Bambu berhasil mengangkat ratusan juta rakyatnya dari kemiskinan ekstrem. Prestasi yang belum pernah dicapai negara manapun dalam sejarah.

Data CNBC Indonesia Research (3/9/2025) menunjukkan betapa mendalamnya penetrasi ekonomi China ke Indonesia. Nilai perdagangan yang hanya US$ 7,46 miliar pada 2000 meroket menjadi US$ 147,99 miliar pada 2024 – peningkatan fantastis 1.882%. China kini menyumbang 22,4% dari total ekspor Indonesia dan 35% dari total impor.

Investasi China juga menggurita. Dari posisi ke-12 pada 2013 dengan US$ 297 juta, China kini menempati peringkat kedua investor terbesar dengan investasi US$ 8,2 miliar pada 2024. Belum lagi soal utang. Pinjaman China melonjak dari US$ 2,49 miliar pada 2010 menjadi US$ 23,54 miliar per Juni 2025.

Kunci sukses China: negara yang kuat, birokrasi kapabel, dan kontrol sosial yang ketat. Partai Komunis China berhasil menundukkan para oligarki dan mengarahkan modal – baik domestik maupun asing – untuk industrialisasi massal. Belt and Road Initiative pun menawarkan sesuatu yang konkret, yakni infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, dan kereta cepat. Berbeda dengan Washington yang datang dengan syarat liberalisasi pasar, Beijing terkesan lebih fleksibel.

Tapi bisakah formula China ditiru Indonesia? Jawabannya: sulit. China punya kondisi struktural yang unik. Sistem politik terpusat memungkinkan implementasi kebijakan jangka panjang tanpa gangguan siklus pemilu atau tekanan kelompok kepentingan. Sedangkan Indonesia berbeda. Oligarki sudah merasuk ke struktur politik dan ekonomi. Sistem demokratis, meski lebih legitimate, justru menciptakan banyak titik hambatan yang bisa dimanfaatkan elite untuk mengontrol kebijakan.

READ  Mengapa Rakyat NTT Peduli?Refleksi Demokrasi dari Polemik Tunjangan DPRD

Yang lebih penting, Beijing tidak pernah mengekspor sistem politiknya. Yang mereka tawarkan kepada negara mitra hanya proyek infrastruktur dan pinjaman. Tanpa kapasitas negara yang kuat untuk mengendalikan elite, yang terjadi tetap sama. Oligarki lokal yang diuntungkan, rakyat tetap jadi buruh prekariat.

Dua Model, Satu Tujuan

Washington dan Beijing sebenarnya dua cara berbeda mencapai tujuan yang sama, yaitu mengintegrasikan negara berkembang ke dalam sistem kapitalisme global. Model Washington masuk lewat pinjaman dengan syarat liberalisasi pasar. Fokusnya investasi finansial jangka pendek yang mudah kabur saat ada gejolak. Model Beijing masuk lewat proyek infrastruktur dengan syarat politik yang lebih longgar. Fokusnya investasi industri jangka panjang yang lebih stabil.

Pertemuan Prabowo dengan Xi Jinping membuktikan hal tersebut. Xi Jinping mendukung untuk “pemulihan ketertiban dan stabilitas Indonesia secepatnya” (JawaPos online, 4/9/2025). Ini dapat dibaca sebagai bahasa diplomatik untuk menjaga status quo yang menguntungkan kepentingan bisnis China. Sementara Prabowo menyatakan hubungan kedua negara “berada pada periode terbaik dalam sejarah” sambil berharap untuk memperkuat kerja sama di bidang perdagangan, investasi, dan infrastruktur.

Tapi keduanya tetap menempatkan Indonesia dalam posisi subordinat. Washington mengunci kita sebagai penyedia bahan baku dan tenaga kerja murah. Beijing, meski menawarkan industrialisasi, tetap menempatkan kita dalam rantai nilai global yang mereka kontrol.

Ironinya, ketika rakyat turun ke jalan memprotes berbagai kebijakan yang dianggap merugikan, dari pembekuan kenaikan gaji dan tunjangan DPR hingga peninjauan ulang terhadap kebijakan sektor ekonomi dan ketenagakerjaan, presiden justru terbang ke Beijing yang memberi sinyal memperdalam ketergantungan ekonomi pada China. Pesan Xi Jinping tentang pemulihan ketertiban dan stabilitas secepatnya terdengar seperti dukungan untuk meredam gejolak rakyat demi kelancaran investasi China. Bukan untuk mengatasi akar masalah ketimpangan yang memicu protes.

READ  Gubernur NTT Kuliah Umum di Universitas Indonesia, Perkenalkan Simfoni Budaya Sumba

Jalan Keluar: Kedaulatan Sejati

Indonesia sebenarnya tidak harus memilih antara Washington dan Beijing. Yang dibutuhkan justru jalan ketiga: kedaulatan ekonomi yang sejati. Jalan ini dapat ditempuh melalui empat langkah utama. Pertama, menerapkan selektivitas strategis dalam integrasi global: membuka diri pada ekonomi dunia hanya di sektor yang menguntungkan sambil melindungi industri strategis. Singkatnya, bukan liberalisasi membabi buta, tetapi juga bukan proteksionisme total. Kedua, membangun negara pembangunan yang demokratis dan akuntabel—bukan negara otoriter ala China, namun juga bukan negara lemah yang mudah ditembus oligarki. Dengan kata lain, mengonsolidasikan negara yang kuat sekaligus menghormati hak-hak demokratis. Ketiga, mengembangkan teknologi dan inovasi dalam negeri, tidak hanya dengan mengandalkan transfer teknologi dari luar, tetapi melalui investasi besar-besaran pada pendidikan, riset, dan pengembangan. Keempat, menjadikan kesetaraan sebagai prasyarat pembangunan, bukan sekadar hasil sampingannya: pertumbuhan ekonomi harus dibarengi distribusi yang adil.

Momentum Perubahan

Di era multipolar dewasa ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor model pembangunan alternatif, bukan hanya demi kepentingan sendiri, tetapi juga sebagai inspirasi bagi negara-negara berkembang lain yang menghadapi dilema serupa. Momentum untuk keluar dari jebakan ketergantungan dan tampil sebagai aktor utama dalam menentukan masa depan sendiri sedang terbuka lebar.

Gejolak sosial yang terjadi telah menunjukkan retaknya kontrak sosial antara elite dan rakyat. Alih-alih dipandang sebagai ancaman, situasi tersebut justru bisa menjadi pintu bagi transformasi fundamental. Indonesia memiliki modal dasar yang kuat: sumber daya alam yang melimpah, populasi besar, dan posisi geografis yang strategis. Yang kurang mungkin hanyalah kemauan politik dan strategi yang tepat untuk membangun kedaulatan sejati.

Tanpa kedaulatan politik yang hakiki, pilihan geopolitik apa pun—entah condong ke Washington atau Beijing—tidak akan mengubah nasib rakyat. Kita akan tetap menjadi penonton di panggung global yang dikendalikan oligarki. Yang dibutuhkan bukan sekadar pergantian patron, melainkan rekonstruksi mendasar hubungan antara negara, pasar, dan rakyat. Singkatnya, menjadikan kedaulatan rakyat sebagai basis legitimasi dan menempatkan keadilan sosial sebagai tujuan utama pembangunan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *