Berita  

Menjaga Kedaulatan Desa Pesisir Dari Kapitalisme Negara

Catatan Pius Rengka

Diskusi bertajuk Menjaga Kedaulatan Desa Pesisir dari Kapitalisme Negara yang digelar IRGSC pada 19 September 2025, menghadirkan tiga narasumber penting, Angge Kandidatus, pakar desa dengan pengalaman lebih dari tiga dekade, Try Suriani Loit Tualaka, peneliti muda IRGSC serta Bona Beding, aktivis demokrasi dan Direktur Penerbit Lamalera, Yogyakarta. Diskusi ini dipandu oleh Ardy Milik, peneliti yang juga mendalami isu desa.

Inti dari perbincangan mereka sejatinya mengerucut pada satu hal yaitu bahwa desa, termasuk desa-desa pesisir, harus memiliki otonomitas kultural yang kokoh di tengah arus besar hegemoni negara yang kerap berpihak pada kepentingan kapitalisme pasar. Try Suriani menegaskan bahwa ada kecenderungan negara justru melemahkan basis desa, sehingga daya tawar kultural desa perlahan tergerus. Ia menganjurkan lahirnya kepemimpinan desa yang kuat, berani menolak dominasi negara, sekaligus menyalakan kembali api otonomitas desa dengan menghidupkan aturan-aturan berbasis kearifan lokal.

Pengalaman panjang Angge Kandidatus membuktikan bahwa desa di NTT sesungguhnya mampu berdiri di atas kaki sendiri. Ia menyinggung praktik-praktik positif di Flores dan Lembata, misalnya di Desa Hadakewa yang berhasil mengelola pantai dengan aturan adat mereka, atau Desa Lamalera yang hingga kini mempertahankan tata cara penangkapan paus berbasis kosmologi leluhur.

Bagi Bona Beding, problem terbesar terletak pada cara pandang negara terhadap desa. Negara sering tampil bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai predator yang merongrong kosmologi desa. Padahal, kosmologi pesisir, sebagaimana di Lamalera, telah hidup jauh sebelum Indonesia terbentuk sebagai negara modern.
Di titik ini, kritik tajam muncul pada penyematan istilah “bahari” dan “maritim” yang kerap dipukul rata pada semua desa pesisir. Terminologi itu, dalam pandangan para narasumber, menyesatkan karena gagal menangkap makna kosmologis orang pesisir sendiri. Bagi masyarakat pantai, laut tidak sekadar ruang ekonomi, tetapi semesta kosmik yang memiliki tiga dimensi makna yaitu melaut, ke laut, dan di laut. Setiap diksi menyimpan kosmologi tersendiri bahwa melaut berarti bersatu dengan ritme laut sebagai bagian dari hidup; ke laut mengandung makna perjalanan dan harapan akan rezeki; sementara di laut adalah ruang kehidupan sekaligus kemungkinan kematian yang diterima dengan penuh kesadaran. Negara, dalam hal ini, kerap salah kaprah karena hanya melihat laut sebagai sumber daya ekonomi, bukan sebagai ruang hidup kosmologis yang sakral.

READ  Gubernur NTT Akan Beri Kuliah Umum di Universitas Indonesia

Lebih jauh, perbincangan ini membuka kesadaran bahwa desa pesisir tidak bisa dipahami semata-mata dalam perspektif ekonomi. Orang pesisir senantiasa hidup dalam jejaring relasi sosial yang kompleks, di mana laut bukan satu-satunya poros, melainkan senantiasa terhubung dengan darat, dengan kampung pedalaman, dengan jaringan perdagangan, bahkan dengan kosmologi religius. Keterbukaan orang pesisir karena hidupnya ditandai dengan open access dan interaksi lintas batas membuat kebudayaan mereka selalu lentur, adaptif, namun sekaligus rentan terhadap penetrasi kapitalisme negara.

READ  Prabowo dan PM Kanada Saksikan Penandatanganan Sejumlah Kesepakatan Strategis

Dalam konteks inilah, tradisi pesisir Nusa Tenggara Timur menawarkan sebuah pelajaran penting. Ritual-ritual laut seperti Hela Keta di Flores Timur atau Leba di Alor adalah bentuk konkret bagaimana masyarakat menjaga hubungan spiritual dengan laut. Begitu pula praktik adat di Lamalera yang mengikat nelayan pada tatanan moral kosmologis, di mana perburuan paus bukanlah aktivitas ekonomi semata, tetapi ritus yang menghubungkan manusia, laut, dan leluhur. Semua itu menunjukkan bahwa desa pesisir memiliki sumber daya kultural yang tak ternilai, yang bisa menjadi benteng dalam menghadapi arus deras kapitalisme negara.

Dengan demikian, menjaga kedaulatan desa pesisir bukan sekadar proyek politik atau kebijakan administratif. Ia adalah upaya memuliakan kosmologi laut yang sudah ratusan tahun menuntun kehidupan masyarakat. Negara seharusnya tidak mereduksi laut menjadi angka-angka ekonomi, melainkan mengakui dan melindungi kosmologi pesisir sebagai bagian dari kedaulatan kultural bangsa. Sebab, hanya dengan cara itu, desa pesisir dapat tetap menjadi ruang hidup yang bermartabat, sekaligus benteng terakhir melawan hegemoni kapitalisme negara.

READ  Menelusuri Jejak Jenderal Ahmad Yani: Kepemimpinan, Profesionalisme, dan Wacana Politik Militer Indonesia

Namun, di balik kerangka akademis itu tersimpan juga seruan moral yang tak bisa diabaikan. Laut bagi orang pesisir bukanlah sekadar hamparan air asin yang menunggu untuk dieksploitasi, melainkan rumah, sahabat, bahkan altar kehidupan tempat doa-doa dinaikkan. Ketika negara menutup mata terhadap kosmologi ini, sesungguhnya negara sedang merampas hak paling mendasar yaitu hak untuk hidup sesuai dengan cara pandang dan kebijaksanaan leluhur.

Seruan Moral dari Pesisir

Karena itu, menjaga desa pesisir berarti juga menjaga ingatan kolektif kita sebagai bangsa bahari yang besar. Kita tidak boleh membiarkan kapitalisme negara menggerus tatanan kosmologis yang diwariskan ratusan tahun. Dari Lamalera hingga Hadakewa, dari Alor hingga Flores Timur, desa-desa pesisir terus berbisik dengan bahasa laut yang sakral yaitu bahwa hidup manusia hanyalah satu simpul kecil dalam jejaring kosmos laut dan darat.

Maka, pertanyaannya kini bukan lagi apakah negara mau melindungi desa pesisir, melainkan apakah bangsa ini masih mau mendengar suara laut dan desa yang setia menjaganya? Jika jawaban kita adalah ya, maka tugas kita jelas, berdiri bersama desa pesisir, melawan hegemoni yang mereduksi laut menjadi komoditas, dan meneguhkan kembali kedaulatan yang lahir dari kearifan lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *