Oleh: Redaksi (respons atas karya satir Dr. Marsel Robot)
Tulisan berjudul “Berita Duka Telah Berpulang Sila Kedua Pancasila di Kantor Gubernur NTT karya Doktor Marsel Robot, dosen Bahasa dan Sastra FKIP Undana, yang terbit pada Kamis, 2 Oktober 2025 bukan sekadar satir biasa. Tulisan itu adalah sebuah jeritan batin rakyat yang dibungkus dalam bahasa sastra yang tajam, menyayat, dan sungguh menggugah nurani. Melalui narasi yang menyerupai berita duka, penulis dengan cerdas menyimbolkan kematian “Sila Kedua Pancasila” (Kemanusiaan yang adil dan beradab) di tanah kelahirannya sendiri, Nusa Tenggara Timur.
Kematian yang dimaksud Doktor Marsel Robot tentu bukan secara fisik, melainkan secara nilai. Dalam dunia yang kian sarat dengan ketimpangan dan kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat kecil, sila kedua seakan tak lagi hidup di tengah kebijakan-kebijakan publik yang kian timpang.
Doktor Marsel Robot menuturkan bahwa Sila Kedua wafat pada pukul 11.01 Wita dan disemayamkan di antara kantor gubernur dan kantor DPRD NTT. Sebuah metafora yang kuat untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan telah mati di jantung pemerintahan daerah ini. Penyakitnya? Komplikasi akut akibat kemiskinan sistemik, ketimpangan ekonomi, dan kebijakan publik yang tidak adil.
Yang paling disorot dalam tulisan Marsel Robot itu adalah Pergub No. 22 Tahun 2025 yang mengatur tentang kenaikan tunjangan sewa rumah dan transportasi anggota DPRD NTT dalam jumlah yang dinilai sangat fantastis. Di tengah rakyat yang bergumul dengan kemiskinan, petani yang kekurangan pupuk, nelayan yang tak bisa melaut karena harga bahan bakar, dan guru honorer yang hidup dengan bayang-bayang ketidakpastian, justru para wakil rakyat menikmati fasilitas yang melampaui batas moral.
Sindiran Terhadap Elit Pemerintah
Tulisan Doktor Marsel juga menyentil keras euforia kegiatan seremonial dan pelesiran pejabat seperti Tour de Entente dan kunjungan ke Universitas Pertahanan, yang dianggap sebagai pemborosan APBD. Alih-alih memprioritaskan kebutuhan dasar rakyat, anggaran justru dihamburkan untuk kepentingan yang jauh dari kebutuhan mendesak.
Doktor Marsel Robot menggambarkan bagaimana “ambulans” yang hendak mengantar jenazah Sila Kedua ke “hati para pejabat” tidak bisa jalan karena tidak punya pajak kendaraan, sebuah alegori tragis bahwa akses antara suara rakyat dan hati penguasa sudah terputus.
Suara yang Diabaikan
Salah satu bagian paling menyentuh dalam tulisan itu adalah ketika Doktor Marsel menyampaikan bahwa para pelayat seperti petani, nelayan, pedagang kecil, guru honorer tidak bisa hadir dalam pemakaman karena akses jalan buruk, biaya transportasi yang tinggi, dan kehidupan mereka yang semakin sulit.
Inilah ironi sosial kita hari ini. Saat pejabat naik pangkat, rakyat terperosok lebih dalam. Ketika parlemen menabuh palu untuk kepentingan mereka, suara rakyat remuk tak bersisa.
Ajakan untuk Bertindak
Tulisan Doktor Marsel Robot ditutup dengan pesan dari sosok simbolik “Poti Pong Darat Tana,” yang mewakili suara kearifan lokal. Ia berpesan kepada para mahasiswa dan aktivis agar tidak hanya menabur bunga di atas makam sila kedua, tetapi juga di tangga-tangga kekuasaan, sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang sistemik.
Ini adalah seruan agar rakyat, terutama kaum muda, tidak tinggal diam. Bahwa perjuangan untuk keadilan dan kemanusiaan belum berakhir, dan butuh keberanian untuk menabur “rampai penderitaan” di lorong-lorong kebijakan yang kering dari nurani.
Tulisan Doktor Marsel Robot dalam semua keindahan bahasanya, adalah sebuah tamparan bagi siapa pun yang masih menganggap bahwa Pancasila hanya dokumen mati. Khususnya Sila Kedua, yang kini sedang disalibkan karena sistem dan birokrasi yang lupa pada tugas pokoknya yakni melayani rakyat.
Kita semua punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya hidup dalam teks, tetapi juga dalam kebijakan dan tindakan. Jangan biarkan sila kedua benar-benar dikubur. Bukan hanya di NTT, tetapi juga dalam hati kita sebagai bangsa.*