UKSW  

Menjaga Marwah Ekonomi Para Mama Papua di Sorong

Willian Sahetapy memaparkan paper kualifikasi disertasinya di depan Prof. Daniel Kameo, PhD., Titi S. Prabawa, PhD., dan Prof. Lieli Suharti. (Foto: Pius Rengka)

Salatiga, detakpasifik.com- Di ruang kecil di G502, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, pekan lalu (2/10/2025) suasana hening tapi hangat dan kenyal berisi. Di hadapan para penguji, Willian Sahetapy, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bukit Zaitun Sorong, Papua Barat, teguh penuh keyakinan mempertahankan tulisannya.

Willy, demikian dia biasanya disapa para sahabat, bukan sekadar mempertahankan ujian kualifikasi disertasi, tetapi juga sedang memperjuangkan suara yang lama tak terdengar yaitu suara para Mama Papua, perempuan tangguh yang menjaga nadi ekonomi rakyat kecil di Sorong.

Riset yang diajukannya bertajuk ketahanan ekonomi Mama-Mama Papua di tengah badai persaingan pasar modern. Di bawah bimbingan Prof. Daniel Kameo, Ph.D., sebagai promotor dan Titi S. Prabawa, Ph.D., sebagai ko-promotor, dan Prof. Lieli Suharti, dan Prof. Dr. Intiyas Utami sebagai penguji, Willian Sahetapy berusaha menyingkap bagaimana perempuan Papua bertahan dengan cara mereka sendiri, di pinggiran kota, di bawah terik, di antara riuh pasar dan langkah-langkah perubahan yang kian cepat.

Bertahan di Tengah Tekanan

Bagi orang lain, pasar mungkin sekadar tempat jual beli. Tempat pertemuan suplai and demand. Tetapi, bagi Mama-Mama Papua, pasar adalah jantung kehidupan. Di sanalah mereka menjajakan hasil kebun berupa sayur, umbi, pisang, buah hutan, sembari menjaga marwah keluarga dan komunitas. Mereka bukan sekadar berdagang. Mereka sedang menegaskan identitas dan martabatnya sebagai perempuan Papua.

“Pasar bagi mereka bukan sekadar tempat transaksi, tetapi ruang sosial untuk saling menopang, berbagi cerita, dan merawat nilai budaya,” ujar Willian dalam ujian yang penuh dialog reflektif itu. Prinsip para Mama ini sederhana namun sarat makna: “Semua harus makan, bukan semua harus kaya.”

Namun di balik kesahajaan itu, badai datang dari banyak arah. Modal kecil, keterbatasan akses ke pasar modern, dan minimnya pengetahuan kewirausahaan menjadi tantangan dari dalam. Sementara dari luar, penggusuran, persaingan harga dengan pedagang non-Papua, serta kekerasan verbal hingga fisik kerap menguji keteguhan mereka.

Budaya patriarki yang kuat menambah beban di pundak mereka. Dalam sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pewaris marga dan garis keturunan, perempuan kerap dipinggirkan dari ruang ekonomi formal. Namun para Mama Papua memilih jalan lain. Mereka membangun kekuatan dari pinggiran, dengan solidaritas dan daya tahan yang lahir dari akar budaya sendiri.

READ  Pius Rengka Raih Gelar Doktor: Membaca Ulang Kepemimpinan Politik di NTT Lewat Lensa Akademik

Ketahanan yang Bernama Perlawanan

“Resistance as resilience,” ujar Willian, mengutip konsep yang menjadi benang merah penelitiannya. Ketahanan para Mama Papua justru tumbuh dari penolakan terhadap modernisasi yang mengikis nilai-nilai komunal. Mereka menjaga jarak dari negara, menolak ketergantungan pada bantuan formal, dan membangun ekonomi solidaritas yang berpijak pada prinsip gotong royong.

Willian menyinggung riset Diah Lydianingtias (2013) yang menemukan bahwa banyak program bantuan pemerintah gagal karena tak memahami konteks budaya lokal. Sebaliknya, menurut Ayala dan Manzano (2014), ketahanan ekonomi modern diukur dari akses terhadap kredit dan layanan negara. “Tapi bagi Mama Papua,” kata Willian, “ketahanan justru berarti jarak dari negara.”

Sebuah ungkapan dari lapangan menggambarkan semangat itu dengan indah:
“Kami tidak butuh payungmu, karena kami punya atap sendiri. Jika atap roboh, kami bisa bikin dari daun, atau pindah ke pohon besar.”

Wartawan detakpasifik.com Pius Rengka dari Salatiga melaporkan, ketika Willian Sahetapy berbicara tentang ketahanan para Mama Papua, seolah ada gema panjang yang datang dari jauh dari pasar-pasar kecil di Afrika Timur, dari tenda-tenda pedagang di Nairobi, dari perempuan Senegal yang menjajakan kacang tanah di bawah terik, dari ibu-ibu di Accra yang menata buah-buahan di pinggir jalan dengan sabar dan keanggunan. Semua mereka, seperti Mama-Mama di Sorong, hidup di antara dua dunia yatu dunia pasar tradisional yang penuh jiwa, dan dunia modern yang menuntut efisiensi tanpa ampun. Mereka menawar harga bukan hanya untuk menyambung hidup, tetapi untuk mempertahankan makna kemanusiaan yang sering dihapus oleh angka-angka ekonomi makro.

Para peneliti dari Ghana (Charles Peprah, Veronica Peprah, Kafui Afi Ocloo Kumasi, 2023) yang menggunakan metode campuran (mixed methods) terhadap 356 perempuan dari beberapa komunitas di Kumasi, melaporkan bahwa setelah masuk ke dalam aktivitas informal, terjadi peningkatan kesejahteraan dalam beberapa aspek seperti pendapatan rumah tangga, peran dalam keputusan keuangan keluarga, partisipasi sosial, nutrisi keluarga, akses pendidikan anak, hingga kepemilikan aset dan perumahan yang lebih layak. Para peneliti Ghana itu pernah menulis, “Ketika perempuan menjual di pasar, mereka sebenarnya sedang merawat bangsa.” Kalimat itu terasa akrab di telinga siapa pun yang pernah melihat Mama Papua menata ubi di atas tikar lusuh sambil tersenyum pada pembeli yang datang.

READ  Program Doktoral Studi Pembangunan UKSW Terus Memperkuat Dimensi Interdisiplin

Perempuan sebagai Penjaga Peradaban dari Pinggiran

Di banyak negeri selatan dunia, dari Afrika hingga Pasifik, perempuan menjadi penjaga yang paling setia terhadap denyut ekonomi rakyat kecil. Di Afrika, mereka disebut market women, di Pasifik disebut mothers of the land, di Papua mereka adalah Mama-Mama penjaga keseimbangan antara tradisi dan perubahan.

Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu menyebut ruang seperti pasar itu sebagai habitus ruang sosial tempat nilai-nilai diwariskan dan dipraktikkan. Sementara bagi Anthony Giddens, tindakan Mama-Mama Papua adalah reflexive action yaitu perlawanan yang lahir dari kesadaran terhadap struktur yang menindas. Mereka tidak menulis manifesto, tapi tindakan sehari-harinyalah yang menjadi teks perlawanan paling kuat.

Di Kenya, perempuan dari suku Kikuyu punya pepatah: “Kami tidak menunggu negara memberi makan, kami menanam dan menjual untuk memberi makan negara.” Dalam konteks Papua, semangat itu menemukan pantulan yang serupa. Mama-Mama Papua tidak menunggu bantuan. Mereka menanam, menjemur, menata, dan menjual. Dengan tangan-tangan kasar mereka, ekonomi rakyat digerakkan dari bawah, tanpa gembar-gembor pembangunan.

Jarak dari Negara Tetapi Dekat dengan Kemanusiaan

Willian Sahetapy yang adalah mahasiswa doktoral Fakultas Interdisiplin Studi Pembangunan UKSW, dalam temuan awal risetnya menegaskan, ketahanan Mama Papua bukanlah hasil intervensi kebijakan, tetapi buah dari kemandirian sosial yang telah tumbuh lama di akar budaya. Mereka memilih jarak dari negara bukan karena benci, melainkan karena tahu, di sanalah ruang bebas untuk menjaga harga diri.
Ungkapan mereka yang terkenal “Kami tidak butuh payungmu, karena kami punya atap sendiri” adalah metafora tentang otonomi, tentang kepercayaan pada kekuatan komunitas, dan tentang penolakan terhadap modernisasi yang serba seragam.

Di Mali dan Nigeria, penelitian serupa menemukan bahwa perempuan pedagang tradisional justru paling tahan terhadap krisis ekonomi global. Ketika bank runtuh dan perusahaan gulung tikar, pasar lokal tetap berdetak karena tangan-tangan perempuan yang tidak mengenal kata menyerah. Mereka tidak memiliki modal besar, tapi punya jaringan sosial yang lebih kokoh dari baja: jaringan solidaritas, gotong royong, dan rasa malu bila tidak berbagi.

Ekonomi yang Bernapas

Apa yang dilakukan Mama-Mama Papua bukan sekadar bertahan hidup; mereka sedang mengajarkan dunia tentang ekonomi yang bernapas, ekonomi yang punya wajah dan hati. Di tengah logika kapitalisme yang sering meniadakan manusia, Mama Papua menegaskan bahwa ekonomi sejati adalah tentang hubungan, bukan hanya tentang untung dan rugi.

READ  Guru Bahasa Indonesia Kok Guru BK-Ku?

Mereka menolak menjadi objek pembangunan, karena sesungguhnya mereka adalah subjek yang telah membangun kehidupan jauh sebelum kata “pemberdayaan” menjadi jargon seminar. Mereka tidak menunggu proyek; mereka sudah hidup di dalam proyek kehidupan itu sendiri bertemu, berbagi, dan saling menguatkan.

Cahaya dari Sorong dan Refleksi dari Pinggiran

Ketika ujian kualifikasi Willian berakhir, para penguji mendiskusikan sejenak. Mungkin bukan hanya karena argumennya yang kuat, tetapi karena riset itu telah membuka cermin yang lebih luas. Bahwa dari pasar-pasar kecil di Sorong, dunia bisa belajar tentang martabat, tentang cara perempuan melawan tanpa amarah, dan tentang ketahanan yang tumbuh dari kasih.

Mama-Mama Papua adalah wajah lain dari peradaban yang masih percaya pada gotong royong dan kemanusiaan. Mereka mungkin tak memiliki rekening bank besar, tapi mereka menyimpan kekayaan yang tak terukur: rasa cukup, solidaritas, dan cinta yang membumi. Dari tanah Sorong yang jauh, pelajaran itu bergema hingga ke benua lain: bahwa ekonomi sejati bukan tentang siapa yang paling cepat tumbuh, melainkan siapa yang paling tahan dan tetap manusiawi di tengah badai.

Penelitian ini bukan sekadar kajian ekonomi, melainkan juga panggilan etis untuk menata ulang cara pandang terhadap pembangunan dan pemberdayaan. Secara teoretis, riset Willian membuka perspektif baru tentang resilience as resistance, ketahanan yang dibangun melalui penolakan terhadap dominasi kapital dan birokrasi modern.
Secara praktis, ia menekankan pentingnya kebijakan inklusif yang berangkat dari kebutuhan nyata perempuan Papua, bukan dari meja kebijakan yang jauh di pusat. “Pemberdayaan sejati,” katanya, “harus lahir dari bawah, dari suara yang selama ini tak dianggap.”

Di penghujung ujian, Willian menutup paparannya dengan satu pertanyaan yang sekaligus menjadi inti risetnya: “Bagaimana para Mama Papua mengembangkan strategi untuk bertahan di sektor informal, sebagai benteng ekonomi keluarga di tengah tekanan pasar dan modernisasi?”

Ujian kualifikasi itu pun berakhir. Tetapi, gema pertanyaannya tetap menggantung dan mengajak siapa pun yang peduli untuk kembali mendengarkan suara dari tanah Sorong, suara para Mama yang menolak menyerah pada arus, karena di tangan merekalah sesungguhnya kehidupan diselamatkan.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *