Berita  

Menagih Janji Dialog: Kemana Komitmen Rasionalisasi Tunjangan DPRD NTT?

Oleh: Wily Mustari Adam
(Dosen FEB Unwira Kupang
& Kandidat Doktor Ilmu Akuntansi Sektor Publik Universitas Brawijaya, Malang)

Kenaikan tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD NTT yang fantastis dan dinilai tidak rasional telah menuai sorotan publik yang luar biasa sejak akhir Agustus 2025. Menyikapi hal ini, Gubernur NTT telah memfasilitasi dialog di Kantor Gubernur NTT pada 9 September 2025 lalu. Dialog yang melibatkan Ombudsman NTT, mahasiswa, Pemda NTT, dan Forkopimda tersebut digelar untuk membahas rasionalisasi Pergub No. 22 Tahun 2025 tentang tunjangan DPRD NTT yang kontroversial.

Namun, hingga awal Oktober 2025, masyarakat NTT yang berjumlah lebih dari 5 juta jiwa masih menunggu jawaban. Pertanyaannya liar dan sederhana masyarakat: ada apa dengan dialog tersebut? Mengapa keputusan rasionalisasi tak kunjung muncul?

Keheningan ini mengkhawatirkan, terutama ketika kita mengingat kembali betapa mengejutkannya kenaikan tunjangan yang diatur dalam Pergub tersebut. Tunjangan perumahan anggota DPRD NTT melonjak 88,8 persen dari Rp12,5 juta menjadi Rp23,6 juta per bulan. Tunjangan transportasi pun tak kalah fantastis: anggota DPRD menerima kenaikan 40,48 persen (dari Rp21 juta menjadi Rp29,5 juta), wakil ketua naik 33,04 persen (dari Rp23 juta menjadi Rp30,6 juta), dan ketua DPRD naik 27,2 persen (dari Rp25 juta menjadi Rp31,8 juta per bulan).

Kajian dan pandangan Ombudsman RI Perwakilan NTT telah disampaikan secara tegas dalam dialog tersebut. Ombudsman menilai bahwa Pergub No. 22 tahun 2025 tidak sejalan dengan regulasi penting yang terkait. Bahwa terdapat ketidaksesuaian yang mencolok tunjangan DPRD NTT dan berpotensi bertentangan dengan regulasi seperti PP No.18 tahun 2017 Jo. PP No.1 tahun 2023, yang menekankan asas kepatutan, kewajaran, dan rasionalitas.

Kemudian, Pergub Nomor 25 Tahun 2025 (SBU) yang menetapkan nilai sewa gedung maksimal sebesar Rp30.000.000 per tahun, sedangkan sewa kendaraan dengan nilai maksimal Rp17.500.000 per bulan. Hasil survei kewajaran daerah setempat oleh tim independen menetapkan nilai sewa rumah maksimal Rp4.500.000 per bulan, dan transportasi maksimal sebesar Rp18.000.000 per bulan.

READ  Sila Kedua Mati di Rumahnya Sendiri, Sebuah Satir tentang NTT Hari Ini

Beban Finansial yang Mencekik APBD
Dampak finansial dari kebijakan ini sungguh menggelegar dan perlu dicermati dengan saksama. Untuk 65 anggota DPRD NTT, beban APBD provinsi menjadi sangat berat:
Tunjangan Perumahan:
• Per bulan: Rp1,534 miliar
• Per tahun: Rp18,4 miliar
• Lima tahun: Rp92,04 miliar
Tunjangan Transportasi:
• Per tahun: Rp23,077 miliar
• Lima tahun: Rp115,38 miliar

Total keseluruhan: Rp41,48 miliar per tahun atau Rp207,42 miliar untuk masa jabatan lima tahun. Dana ini belum termasuk komponen lain sesuai PP Nomor 18 tahun 2017 yang mencakup uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, tunjangan paket, tunjangan jabatan, tunjangan AKD, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan reses.

Selain itu, dana yang mengalir ke diri anggota DPRD berupa dana penyerapan dan penghimpunan aspirasi mencakup dana pelaksanaan reses, dana kunjungan kerja dalam daerah (ke konstituen), Pokir, dan berbagai fasilitas lainnya seperti honor berbagai jenis rapat.

Angka Rp207,42 miliar bukanlah angka kecil. Di provinsi dengan kategori kemampuan keuangan daerah “sedang” seperti NTT, alokasi sebesar ini patut dipertanyakan: apakah ini prioritas yang tepat? Berapa banyak program kesejahteraan rakyat yang harus dikorbankan demi membayar tunjangan para wakil rakyat?

Hitung-hitungan sederhana, seandainya ada kelapangan hati bapak/ibu anggota DPRD NTT dalam mencermati sorotan publik, maka dari rasionalisasi kedua jenis tunjangan ini diperoleh efisiensi atau penghematan kurang lebih Rp23-25 miliar per tahun. Artinya, dalam konteks ini, rakyat NTT dapat mencegah praktek korupsi yang dilegalkan dari adanya pemborosan anggaran ini.

Bagaimana dengan item program dan kegiatan yang lain? Publik mengharapkan jawaban dan tindakan melalui isi hati nurani wakil rakyat yang tumbuh dan mekar di gedung megah yang keberadaan mereka melampaui pikiran rakyat jelata dan miskin.

Perspektif Ombudsman: Aturan yang Diabaikan?

Ombudsman NTT telah memberikan pandangan baik lisan maupun tertulis yang jernih dan berbasis regulasi. Kenaikan tunjangan harus mengacu pada enam prinsip fundamental:

  1. PP No. 18 Tahun 2017 jo. PP No. 1 Tahun 2023 tentang Hak Keuangan dan Administratif DPRD. Regulasi ini menekankan asas kepatutan, kewajaran, dan rasionalitas.
  2. Permendagri No. 62 Tahun 2017 tentang Pengelompokan Kemampuan Keuangan Daerah serta Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Dana Operasional. Posisi NTT dalam klasifikasi ini termasuk kategori kemampuan keuangan daerah “sedang”.
  3. PMK No. 39 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2025.
  4. Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
  5. Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota tentang Standar Biaya Umum
  6. Hasil survei tim penilai pemerintah/independen terkait kewajaran harga setempat
READ  Pejabat Berfoya, Rakyat Berdoa

Yang menjadi pertanyaan krusial: apakah Pergub No. 22 Tahun 2025 sudah memenuhi semua prinsip tersebut? Apakah sudah ada survei tim penilai independen tentang kewajaran harga? Apakah kemampuan keuangan daerah yang “sedang” dan kondisi sosial ekonomi masyarakat NTT yang sebagian besar masih berjuang melawan kemiskinan dan keterbatasan infrastruktur sudah benar-benar dipertimbangkan?

Jika proses penyusunan Pergub tersebut tidak mengikuti koridor hukum dan prinsip kewajaran, maka keputusan untuk merevisi atau bahkan membatalkannya bukanlah pilihan, melainkan kewajiban.

Menagih Komitmen: Dialog Bukan Sekadar Seremonial

Dialog pada 9 September 2025 seharusnya menjadi momentum untuk menunjukkan komitmen pemerintah daerah dalam mendengarkan aspirasi rakyat dan menegakkan tata kelola yang baik. Namun, ketiadaan keputusan hingga kini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah dialog tersebut hanya sekadar pencitraan atau memang ada niatan serius untuk menyelesaikan masalah?

Masyarakat NTT berhak menuntut transparansi dan akuntabilitas. Gubernur NTT, sebagai fasilitator dialog, perlu segera memberikan penjelasan:
• Apa hasil konkret dari dialog tersebut? Apakah ada kesepakatan yang dicapai? Jika belum, apa kendalanya?

• Kapan keputusan rasionalisasi akan diumumkan? Masyarakat tidak bisa terus dibiarkan dalam ketidakpastian.

• Apakah ada itikad baik untuk merevisi Pergub No. 22 Tahun 2025? Jika ya, seperti apa bentuk revisinya?

Tanggung Jawab Moral dan Politik Wakil Rakyat

DPRD NTT, sebagai penerima manfaat langsung dari kebijakan ini, juga tidak boleh berdiam diri. Dalam situasi di mana rakyat yang diwakili masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, menerima kenaikan tunjangan yang sangat tinggi tanpa evaluasi kritis adalah tindakan yang sulit dibenarkan secara moral.

READ  Gubernur NTT Akan Beri Kuliah Umum di Universitas Indonesia

Para anggota DPRD perlu menunjukkan kepemimpinan yang sejati dengan bersedia meninjau kembali besaran tunjangan yang mereka terima. Ini bukan tentang menolak hak yang sah, tetapi tentang menunjukkan empati dan solidaritas terhadap rakyat yang sedang menghadapi berbagai tantangan ekonomi.

Jika DPRD benar-benar adalah wakil rakyat, mereka harus membuktikannya dengan sikap: bersedia berkorban demi kepentingan yang lebih besar, dan mendahulukan kesejahteraan rakyat di atas kenyamanan pribadi.

Sudah cukup lama masyarakat NTT menunggu realisasi hasil dialog. Dialog tanpa keputusan adalah janji kosong yang akan mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Kita tidak meminta hal yang berlebihan, tetapi rakyat hanya meminta agar pemerintah daerah dan DPRD menjalankan fungsinya sesuai aturan, sesuai kemampuan keuangan daerah, dan sesuai dengan rasa keadilan.

Kepada Gubernur NTT: agar menunjukkan kepastian hasil dialog 9 September 2025 secara pasti yakni membatalkan Pergub. Usulan ini didasari oleh reaksi publik NTT yang menolak Pergub. Keluarkan keputusan rasionalisasi yang adil dan berbasis kepentingan publik.

Kepada DPRD NTT: tunjukkan bahwa Anda adalah wakil rakyat yang sesungguhnya, bukan wakil kepentingan sendiri. Dukung upaya rasionalisasi dengan lapang dada.

Kepada Ombudsman NTT dan elemen masyarakat sipil: teruslah mengawal proses ini. Jangan biarkan isu ini tenggelam tanpa penyelesaian.

Rakyat NTT menunggu tidak dengan sabar yang tanpa batas, tetapi dengan harapan yang masih tersisa bahwa sistem masih bisa bekerja untuk mereka, bukan untuk segelintir orang. Saatnya janji ditepati. Saatnya komitmen diwujudkan. Saatnya bertindak. Legislatif yang kuat sejatinya melalui dukungan penuh rakyat. Namun, jikalau diabaikan, rakyat akan mencari jalan kebenaranya sendiri. Jangan abaikan suara rakyat. Rakyatlah pemilik sejati kedaulatan Negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *