Catatan Juan Pesau
Ketua Anggota Dewan Pertimbangan PMKRI Cabang Kupang sekaligus Ketua FORKOMA PMKRI NTT, Kaka Alo Min, nama yang tak asing bagi mereka yang pernah mencicipi keras dan hangatnya dunia kaderisasi PMKRI di Nusa Tenggara Timur, tampak menunjuk sebuah pohon tinggi menjulang (lihat foto), batangnya besar dan kuat, menembus langit hutan Amarasi. “Lihat ini,” katanya, sambil menjelaskan tentang jenis pohon tersebut. Kaka Alo tidak sekadar berbicara tentang pohon, tapi tentang makna pertumbuhan, tentang akar yang harus kuat, tentang batang yang harus kokoh, dan tentang ranting-ranting yang tak boleh ragu merentangkan harapan.
Saya mendengarkannya, bukan hanya sebagai seorang teman diskusi saat itu, tetapi sebagai murid yang sedang menyerap pelajaran hidup. Hari itu, Selasa (29/9/2025) saya diajak Kaka Alo untuk menemani sesi materi pada kegiatan penerimaan anggota baru PMKRI Kupang. Ajakan ini bagi saya adalah sebuah kehormatan. Bukan hanya karena kami akan berbagi pikiran dengan adik-adik calon anggota baru, tetapi karena di tempat itulah, di bawah langit Buraen, saya seolah menjejak kembali masa lalu saya sendiri.
Tiba giliran saya menyampaikan sepatah dua kata kepada mereka yang sedang memulai perjalanan panjang ini. Dan hal pertama yang keluar dari mulut saya adalah kejujuran. Bahwa menyaksikan mereka hari itu, adalah seperti menatap cermin waktu. Sya melihat diri saya sendiri di tahun 2012, saat pertama kali saya pun menjadi bagian dari PMKRI. Suasana, semangat, bahkan keraguan mereka, semuanya begitu akrab. Seperti mengulang tapak kaki yang dulu pernah saya jejak, kini saya berdiri di sisi lain, sebagai bagian dari mereka yang memanggul tongkat estafet.
Di antara kami juga hadir seorang sahabat lama, Ardi Dandi, teman satu angkatan di PMKRI, kini seorang pengusaha muda yang sedang membangun usahanya di Kota Kupang. Ia adalah rekan diskusi, teman berdebat, sekaligus saksi tumbuhnya idealisme kami saat masih duduk di bangku kuliah. Kehadirannya hari itu bukan hanya menyemarakkan suasana, tetapi menjadi bukti bahwa proses di PMKRI tak berhenti di ruang-ruang materi, tapi menjelma menjadi jalan hidup.
Adik-adik itu, yang duduk langsung beralaskan lantai, mungkin belum tahu ke mana angin akan membawa mereka. Tapi mereka sedang menanam, dan seperti pohon yang ditunjukkan Kaka Alo siang itu, mereka akan tumbuh. Mungkin tak cepat, mungkin tak mudah, tapi dengan akar yang benar, mereka akan sampai pada ketinggian yang seharusnya.
MPAB ini bukan sekadar agenda rutin tahunan. Ini adalah ruang suci untuk mengingat, untuk melanjutkan, dan untuk kembali merawat napas kaderisasi yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Dan di tengah hutan Amarasi yang hijau dan tenang, kami kembali diingatkan bahwa segala hal besar selalu tumbuh dari tanah yang basah oleh kerja dan pengabdian.
Buraen bukan hanya tempat belajar. Itu adalah tempat pulang.