Sopi dan Sophia: Meneguk Identitas, Menjumpai Kebijaksanaan

Marselus Natar

(Ironi Penyitaan Sopi di Flores -Nusa Tenggara Timur)

Oleh: Marselus Natar (rohaniawan Katolik pada Kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus, penulis buku kumpulan cerpen dengan judul Usaha Membunuh Tuhan).

Di sebuah wilayah di timur negeri ini, ada minuman yang lebih banyak disalahpahami ketimbang dipahami: Sopi -jenis minuman keras. Ia tidak pernah menggoda manusia untuk mabuk, apalagi berkelahi. Ia hanya diam di dalam botol atau jeriken, menunggu manusia yang. -entah karena marah atau duka -menjadikannya pelarian. Tetapi ketika kekerasan terjadi, Sopi selalu lebih dulu dipersalahkan. Seolah-olah Sopi dalam botol dan jeriken itu memiliki kuasa untuk menuntun tangan manusia melakukan kekerasan.

Beberapa waktu terakhir, wajah Sopi di Flores menjadi wajah yang muram. Di banyak kabupaten, dari Manggarai Timur hingga Ende dan Sikka, razia minuman lokal ini digelar. Sopi disita, dipajang di halaman kantor polisi, lalu (mungkin) akan dimusnahkan dengan khidmat -seakan-akan negara baru saja membersihkan dosa rakyatnya.

Media pun memotret: botol-botol dan jeriken-jeriken berisi Sopi hasil sitaan dikumpulkan, sementara air mata dan keringat para penyuling dan pedagang kecil luput dari potretan media. Dan di balik semua itu, satu hal terlupakan: Sopi bukan sekadar minuman. Ia adalah simbol kebersamaan dalam kebudayaan orang NTT.

Sopi sebagai Perekat Sosial dan Roh Tradisi

Bagi masyarakat Flores serta Lembata, Alor, dan Timor, Sopi bukan hanya cairan hasil tetesan Enau. Ia adalah jembatan sosial, perekat batin, dan medium penyatu antara manusia dan alam. Dalam pesta adat, Sopi dituangkan untuk memohon restu leluhur serta penghangat persaudaraan; dalam perdamaian, Sopi menjadi saksi penghapusan dendam; dan dalam penerimaan tamu, Sopi menjadi tanda penghormatan serta ucapan selamat datang. Sopi adalah bahasa keakraban yang lebih jujur dari basa-basi.

Satu teguk Sopi bisa menyalakan tawa, dua teguk bisa membuka kisah lama, dan tiga teguk bisa meluruhkan dendam. Ia mengajarkan bahwa manusia butuh rasa hangat untuk merasa utuh, bukan aturan dingin yang hanya tahu menghukum.

Namun sebelum menjadi Sopi, ada satu unsur yang tidak boleh diabaikan: Tuak -nira yang ditampung dari pohon Aren atau Gewang melalui tradisi penyadapan yang sudah dipraktikkan ratusan tahun. Para petani memanjat pohon tinggi dengan ketangkasan yang diwarisi dari para leluhur. Mereka menyiapkan bambu atau jeriken kecil untuk menampung tetesan nira, lalu setiap pagi dan senja kembali lagi, seperti ritual kesetiaan yang menghubungkan manusia dengan alam yang memberkati mereka. Tuak kemudian disuling -proses transformasi yang melibatkan keterampilan dan kesabaran.

READ  Rahim di Dalam Mimpi

Dari uap panas yang ditangkap ke dalam batang bambu panjang, kemudian dialirkan ke satu titik atau tempat tertentu. Di sana telah disediakan wadah berupa jeriken untuk menampung kondensasi -uap menjadi air Sopi. Proses ini membutuhkan waktu dan kesabaran, sebab air Sopi yang keluar dari ujung bambu tidak seperti air yang keluar dari moncong kran air atau shower, ia menetes perlahan tetapi memberi kepastian.

Dalam budaya masyarakat Manggarai, Tuak adalah elemen penting dalam konteks budaya atau adat istiadat. Kita mungkin pernah mendengar istilah Tuak Curu, Tuak Kapu, dan Tuak Kepok. Ketiganya adalah ritual dan tradisi menyambut tamu, dengan perbedaan fokusnya: Tuak Curu adalah penjemputan di luar kampung atau pintu masuk dengan simbol kesucian hati, sebuah bentuk penerimaan atau ucapan selamat datang terhadap tamu secara adat, Tuak Kapu adalah penerimaan di dalam rumah, dan Tuak Kepok merujuk pada penyajian Tuak beserta simbol-simbol lain dalam acara adat yang lebih luas seperti penyambutan tamu agung. Masing-masing memiliki makna filosofis tersendiri dalam konteks hubungan kekerabatan dan penghormatan.

Di sinilah letak ironi besar yang sering dilewatkan negara. Pemerintah merasa telah menyelamatkan masyarakat dari bahaya hanya karena menyita jeriken berisi Sopi. Padahal yang hilang bukan sekadar cairan, melainkan: identitas budaya yang menyatukan generasi, ekonomi rakyat kecil yang bertahan hidup dari pohon Aren, arsip ingatan tentang bagaimana masyarakat timur memaknai persaudaraan dan kekerabatan.

Sebuah razia mungkin berhasil memindahkan Sopi dari tempat penyulingan atau kios-kios kecil ke halaman kantor polisi, tetapi tidak pernah bisa memindahkan rasa percaya diri dan martabat masyarakat yang telah lama bertahan dengan kearifan lokalnya.

Begitu Sopi diperlakukan layaknya sebagai ‘tersangka’ utama semua persoalan sosial, negara sesungguhnya sedang menyederhanakan masalah secara berbahaya. Tidak pernah ada kajian yang bertanya: mengapa sebagian orang memilih mabuk untuk melupakan kenyataan? Apakah karena hidup terlalu berat sementara negara abai menyediakan ruang aman untuk pulih? Sopi hanya memperlihatkan wajah asli manusia -ketika tertawa, ketika jujur, ketika sedih. Yang perlu disembuhkan adalah lukanya, bukan sopinya.

READ  Peta Baru Konflik Israel Hamas 2025

Ketika Sopi Dijadikan ‘Kambing Hitam’

Namun di mata sebagian pihak, Sopi telah menjadi wajah dari keributan.
Setiap kali muncul berita tentang perkelahian, pembunuhan, atau pesta yang berakhir rusuh, Sopi langsung menjadi kambing hitam. Tidak ada penelusuran lebih jauh: mengapa kekerasan mudah meletus? Mengapa amarah menjadi bagian dari pesta? Sopi tidak bisa berbicara, tetapi seandainya bisa, ia mungkin akan berkata:
“Aku bukan penyebab. Aku hanya cermin. Jika yang minum tidak mengenal batas, maka yang tampak di dalamku bukan lagi manusia, melainkan bayangan egonya sendiri.”

Persoalan bukan pada Sopi, melainkan pada manusia yang kehilangan kemampuan untuk menakar diri. Sopi hanya menampakkan siapa kita ketika kewarasan sedang diuji.

Di banyak tempat di NTT, kini razia Sopi menjadi pemandangan rutin. Aparat berpose di depan jeriken sitaan, lalu berita ditulis dengan judul besar: “Polisi Amankan Ratusan Liter Sopi Hasil Sitaan.” Tetapi di balik judul itu, tidak pernah disebut nama-nama petani enau yang kehilangan sumber nafkahnya, atau orang-orang kampung yang tak lagi bisa menjual Tuak maupun Sopi untuk biaya sekolah anak. Negara datang dengan dalih ketertiban, tapi yang hilang justru rasa saling percaya antara pemerintah dan rakyat. Sopi, yang semestinya menjadi simbol persaudaraan, kini menjadi tanda curiga antara nilai-nilai adat, budaya, kemanusiaan dengan hukum.

Sophia: Kebijaksanaan yang Terlupakan

Di balik kata Sopi, terselip kata Sophia -dari bahasa Yunani kuno yang berarti kebijaksanaan. Mungkin itu bukan kebetulan. Sebab di dalam budaya minum Sopi pun ada kebijaksanaan tersendiri: minum tidak untuk mabuk, tetapi untuk menyatukan.
Sayangnya, di tengah semangat penertiban yang membabi buta, nilai-nilai Sophia itu terkubur. Polisi gemar melakukan penggerebekan dan penyitaan terhadap Sopi, lupa bahwa terkadang polisi juga sering terlibat dalam problem miras, apa pun jenisnya, lupa bahwa patroli sebagai bentuk mitigasi terhadap kekerasan merupakan hal fundamental dan substantif ketimbang memasang Police Line di Tempat Kejadian Perkara setelah terjadi kekerasan.

Sopi dan Sophia seharusnya berjalan bersama. Sopi sebagai simbol rasa, dan Sophia sebagai simbol akal. Jika keduanya seimbang, maka manusia akan tahu batas antara sukacita dan kebodohan. Tetapi ketika Sophia hilang, yang tersisa hanyalah kebodohan, kekejian, kemunafikan, kemarahan, sentimental, amarah dan perilaku dehumanisasi lainnya. Sopi mengajarkan kita satu pelajaran sederhana namun sering dilupakan: manusia hidup bukan hanya dengan logika dan aturan, tetapi juga dengan rasa. Kebahagiaan sering kali lahir dari hal-hal kecil -duduk bersisian di bale-bale bambu, tawa yang tidak dipaksakan, cerita yang tiba-tiba muncul setelah tegukan pertama. Di situ ada kemanusiaan yang tak tergantikan oleh selembar surat edaran atau peraturan yang kaku. Sopi menyatukan yang jauh, mendekatkan yang renggang, mendamaikan yang berselisih. Ia mungkin membuat lidah cadel, tapi justru dalam cadel itu muncul kejujuran yang selama ini disembunyikan oleh kesopanan palsu.

READ  Rahim di Dalam Mimpi

Dan bukankah hidup ini tentang merawat hubungan? Tentang mengasihi yang satu meja, menghormati yang satu kampung, menjaga yang satu tanah? Apa gunanya kita bangga pada identitas budaya jika yang paling mudah kita lakukan justru mencabut akar yang membuat kita merasa sebagai bagian dari komunitas? Ketika Sopi dicurigai, di persekusi, dan diperlakukan layaknya kriminal, sesungguhnya kita sedang mengikis memori kolektif tentang siapa diri kita: manusia yang tumbuh dari adat, dari kebersamaan, dari nilai bahwa semua saudara meski tak sedarah.

Di hadapan Sopi, kita belajar mengenal batas. Bukan batas minuman, tetapi batas diri. Bukan berapa gelas yang kita habiskan, tetapi berapa banyak marah yang kita simpan. Sopi hanya memberi akibat sesuai kadar akal sehat: bila akal sehat tak dipakai, Sopi pun kehilangan tugasnya sebagai perekat. Di situ kejahatan bermula -bukan dari jeriken, tetapi dari kepala yang tak lagi mau mendengar suara hati.

Mungkin suatu hari nanti, aparat akan benar-benar memahami bahwa menyita Sopi tidak otomatis menyita ketidakdewasaan, dan memusnahkan jeriken tidak serta-merta memusnahkan kebiasaan bermusuhan. Sebab penyelesaian masalah sosial bukan melalui pembakaran tradisi, melainkan dengan menghadirkan pendidikan batin -kearifan untuk minum secukupnya dan mencintai seperlunya.

Pada akhirnya, kita bisa saja hidup tanpa Sopi -tetapi apakah kita tetap menjadi manusia yang sama? Manusia yang tahu caranya duduk bersama, saling menyapa, bercanda dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh hati yang hangat?

Maka biarlah Sopi tetap ada. Biarlah ia menjadi pengingat bahwa kebersamaan lebih kuat daripada larangan, dan bahwa manusia yang tahu batas selalu lebih bijak daripada aturan yang sok menjaga. Sebab Sopi hanyalah minuman. Tetapi cara kita memperlakukannya… itulah ukuran paling jujur dari kedewasaan kita sebagai sebuah masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *