Oleh: Yohanes K. Pesau
Pertanyaan Benny K. Harman kepada calon hakim agung Alimin Ribut Sujono mengenai bagaimana ia dapat menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang bukan dalam konteks membela terdakwa, melainkan sebagai bentuk pencarian kebenaran dan keadilan. Pertanyaan BKH merupakan bentuk pertanyaan radikal yang sangat sah dalam diskursus etika, hukum, dan filsafat keadilan. Pertanyaan ini bukanlah serangan terhadap otoritas hakim, melainkan ujian terhadap dimensi moral, psikologis, dan prinsipil dari keputusan hukum tertinggi yakni pencabutan nyawa oleh negara.
Pertanyaan BKH ini terjadi saat fit and proper test calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM di MA yang digelar Komisi III DPR RI, Kamis (11/9/2025). Diketahui, Alimin Ribut Sujono merupakan salah satu majelis hakim yang memvonis hukuman mati dalam kasus Ferdy Sambo. Setelahnya, di beberapa platform media sosial seperti Facebook, Tiktok dan YouTube BKH dianggap sedang tidak setuju dengan vonis mati Sambo dan membelanya.
Pertanyaan Radikal yang Sah dalam Negara Hukum
Dalam negara hukum yang demokratis, setiap keputusan pengadilan harus bisa diuji, bukan hanya dari segi legalitas, tetapi juga dari segi moral dan kemanusiaan. Pertanyaan tentang “Bagaimana seorang hakim mampu secara moral dan nurani menjatuhkan hukuman mati kepada seorang manusia?” bukanlah bentuk pembelaan terhadap pelaku kejahatan, melainkan upaya menguji apakah sistem keadilan benar-benar dijalankan berdasarkan prinsip keadilan substantif, bukan sekadar prosedur formal atau tekanan institusional.
Hukuman mati bukan sekadar hasil interpretasi undang-undang, tetapi juga melibatkan dimensi nurani dan tanggung jawab moral. Seorang hakim tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa vonis hukuman mati berarti memberi otorisasi kepada negara untuk mencabut hidup seseorang secara sah.
Apakah hakim merasa damai dengan keputusan tersebut? Apakah keputusan itu lahir dari rasa keadilan yang murni atau sekadar kepatuhan pada sistem? Atau seperti pertanyaan BKH, apakah hakim merasa mewakili Tuhan?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini penting diajukan untuk menyingkap bahwa dalam keputusan hukum, terutama yang menyangkut nyawa, terdapat ruang yang tak dapat sepenuhnya dijawab oleh teks hukum yaitu ruang etika dan empati.
Pertanyaan tersebut juga penting untuk memastikan bahwa kekuasaan kehakiman tidak jatuh ke dalam bahaya absolutisme yudisial di mana hakim merasa cukup hanya dengan berpegang pada pasal hukum tanpa mempertimbangkan implikasi moralnya.
Hemat penulis, hukum bukan sekadar teks, tetapi juga praktik sosial yang sarat akan nilai. Jika hakim tidak pernah ditantang secara moral dalam menjatuhkan hukuman mati, maka dikhawatirkan proses hukum kehilangan sisi manusianya. Itulah mengapa pertanyaan BKH dianggap penting dan baik adanya.
Namun seringkali, pertanyaan semacam ini disalahpahami sebagai bentuk pembelaan terhadap pelaku kejahatan. Seperti yang sedang terjadi pada BKH. Ia disebut membela Sambo. Padahal, pertanyaan tersebut justru bertujuan untuk membela integritas sistem hukum agar tetap adil, manusiawi, dan bertanggung jawab secara etis.
Dengan bertanya kepada hakim tentang bagaimana ia berdamai dengan keputusan hukuman mati, kita sedang menuntut transparansi nurani dari institusi hukum apakah keadilan yang ditegakkan benar-benar menjunjung nilai kemanusiaan, atau hanya menjadi instrumen pembalasan yang dilegitimasi oleh negara?
Hakim bukan algoritma hukum. Hakim adalah manusia yang memiliki nurani, empati, dan refleksi moral. Maka, sah dan perlu untuk menanyakan: Bagaimana proses batin seorang hakim saat ia menjatuhkan hukuman paling akhir kepada seorang manusia? Pertanyaan ini ingin menggali apakah masih ada ruang kemanusiaan dalam ruang pengadilan yang kerap dianggap dingin dan impersonal.
Jadi, pertanyaan BKH kepada calon hakim agung itu tentang bagaimana ia menjatuhkan hukuman mati kepada Sambo bukanlah bentuk penghakiman balik, melainkan ekspresi dari kepekaan etis terhadap nilai nyawa manusia. Ini adalah bentuk tanggung jawab warga negara dalam mengawal agar keadilan tidak hanya dijalankan, tetapi juga dijalani dengan kesadaran etis yang utuh.
Dengan demikian, pertanyaan radikal dari BKH ini bukan hanya dibenarkan, tetapi juga sangat diperlukan dalam masyarakat yang ingin hukum tidak kehilangan sisi manusianya.











